Kamis, 25 Maret 2010

Ruang Lingkup Pengajaran Akhlaq

Al-Khuluq ( bentuk mufrad/tunggal dari kata akhlaq ) berarti perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: “ Gambaran batin seseorang ". Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran :
 Gambaran zhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran zhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.
 Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatanperbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak.
Dan gambaran ini juga ada yang baik jika memang keluar dari akhlaq yang baik, dan ada pula yang buruk jika keluar dari akhlaq yang buruk. Inilah yang kemudian disebut dengan nama "khuluq" atau akhlaq. Jadi, khuluq atau akhlaq adalah gambaran batin yang telah ditetapkan pada seseorang. Dan wajib bagi setiap muslim untuk berperilaku dengan akhlaq yang mulia ini. Karena, sesuatu yang berharga dari tiap-tiap benda merupakan sesuatu yang baik dari benda tersebut, dan di antaranya adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal:
إياك وكرائم أموالهم ( رواه البخاري ومسلم )
”…dan hati-hatilah dari harta-harta mereka yang berharga…”, yakni ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkannya untuk mengambil zakat dari penduduk kota Yaman.
Maka, setiap orang harus berusaha agar hati atau gambaran batinnya menjadi mulia. Sehingga ia mencintai kemuliaan dan keberanian, juga mencintai sifat santun dan kesabaran. Ketika bertemu dengan sesama hendaknya ia menampakkan wajah yang berseri-seri, hati yang lapang, dan jiwa yang tenang. Dan semua sifat-sifat di atas merupakan bagian dari akhlaq yang mulia.
Telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
أكمل المؤمنين إيمانًا أحسنهم خلقًا (رواه ابو داوود )
“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaqnya”.
Maka, sudah sewajarnya jika pembicaraan ini selalu berada didepan mata seorang mukmin. Karena, jika seseorang mengetahui bahwa dia tidak akan bisa menjadi figur yang sempurna keimanannya kecuali dengan memperbaiki budi pekertinya, maka hal ini akan menjadi sebuah pendorong baginya untuk berperilaku dengan budi pekerti yang baik dan sifat-sifat yang tinggi mulia, serta ia akan meninggalkan perbuatan yang rendah dan hina.
Pendidikan Islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini. Al-Husain ibn Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad. Majelis-majelis ilmu pada masa itu, sebagaimana diceritakankan Imam adz-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh, dalam pendidikan Islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain. “Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.” Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib as-Syahid (w. 203 H.) dan lain-lain. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah muaddib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.
Penekanan pada aspek adab dan akhlak dalam pendidikan Islam dikarenakan dalam perspektif Islam, belajar ilmu untuk menghilangkan kebodohan, menegakkan agama penuntutnya, bukan demi dunia ataupun kesombongan apalagi popularitas sendiri. Tapi belajar ilmu dalam Islam dianggap sebagai bagian dari usaha mulia mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri. Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين ( متفق عليه )
Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”
Di sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam menilai, jujur, sportif, dan sejenisnya nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal, bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih awal.

Tidak ada komentar: