Selasa, 11 Mei 2010

Hukum Bank Konvensional ?

A. PENDAHULUAN
Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syari’at Islam dan diatur dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. Oleh karenanya, Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif bagi umat manusia dan merusak perekonomian bangsa.
Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun di atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. Bila anda ingin bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita, bagaimana ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan tiada terlihat darinya. Sungguh benar firman Allah:
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqoroh: 276)
Nah, di sinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui masalah Bank konvensional dan sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena pada zaman sekarang ini, Bank bagi kehidupan manusia hampir sulit dihindari.
B. DEFENISI BANK DAN SEJARAHNYA
Bank diambil dari bahasa Italia yang artinya meja. Konon penamaan itu disebabkan karena pekerjanya pada zaman dulu melakukan transaksi jual beli mata uang di tempat umum dengan duduk di atas meja. Kemudian modelnya terus berkembang sehingga berubah menjadi Bank yang sekarang banyak kita jumpai.
Bank didefenisikan sebagai suatu tempat untuk menyimpan harta manusia secara aman dan mengembalikan kepada pemiliknya ketika dibutuhkan. Pokok intinya adalah menerima tabungan dan memberikan pinjaman.
Bank yang pertama kali berdiri adalah di Bunduqiyyah, salah satu kota di Negara Italia pada tahun 1157 M. Kemudian terus mengalami perkembangan hingga perkembangan yang pesat sekali adalah pada abad ke-16, di mana pada tahun 1587 berdirilah di Negara Italia sebuah bank bernama Banco Della Pizza Dirialto dan berdiri juga pada tahun 1609 bank Amsterdam Belanda, kemudian berdiri bank-bank lainnya di Eropa. Sekitar tahun1898, Bank masuk ke Negara-negara Arab, di Mesir berdiri Bank Ahli Mishri dengan modal lima ratus ribu Junaih[1].
C. PEKERJAAN BANK
Seorang tidak bisa menghukumi sesuatu kecuali setelah mengetahui gambarannya dan pokok permasalahannya. Dari sinilah, penting bagi kita untuk mengetahui hakekat Bank agar kita bisa menimbangnya dengan kaca mata syari’at.
Pekerjaan Bank ada yang boleh dan ada yang haram, hal itu dapat kita gambarkan secara global sebagai berikut:
A. Pekerjaan Bank Yang Boleh
1. Transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman.
2. Menerbitkan kartu ATM untuk memudahkan pemiliknya ketika bepergian tanpa harus memberatkan diri dengan membawa uang di tas atau dompet.
3. Menyewakan lemari besi bagi orang yang ingin menaruh uang di situ.
4. Mempermudah hubungan dengan Negara-negara lain, di mana Bank banyak membantu para pedagang dalam mewakili penerimaan kwitansi pengiriman barang dan menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual barang.
Pekerjaan-pekerjaan di atas dengan adanya ongkos pembayaran hukumnya adalah boleh dalam pandangan syari’at.

B. Pekerjaan Bank Yang Tidak Boleh
1. Menerima tabungan dengan imbalan bunga, lalu uang tabungan tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada manusia dengan bunga yang berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada penabung.
2. Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang dan selainnya dalam tempo waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari hutangnya dengan peresentase.
3. Membuat surat kuasa bagi para pedagang untuk meminjam kepada Bank tatkala mereka membutuhkan dengan jumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Tetapi bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah menerima pinjaman.[2]
D. BUNGA BANK ADALAH RIBA
Dengan gambaran di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa kebanyakan pekerjaan Bank dibangun di atas riba yang hukumnya haram berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan ulama Islam.
1. Dalil Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqoroh: 275)
Cukuplah bagi seorang muslim untuk membaca akhir surat Al-Baqoroh ayat 275-281, maka dia akan merinding akan dahsyatnya ancaman Allah kepada pelaku riba. Bacalah dan renungkanlah!!
2. Dalil hadits
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
3. Dalil Ijma’
• Para ulama sepanjang zaman telah bersepakat tentang haramnya riba, barangsiapa membolehkannya maka dia kafir[3]. Bahkan, riba juga diharamkan dalam agama-agama sebelum Islam. Imam al-Mawardi berkata: “Allah tidak pernah membolehkan zina dan riba dalam syari’at manapun”.[4]
• Kalau ada yang berkata: Kami sepakat dengan anda bahwa riba hukumnya adalah haram, tetapi apakah bunga Bank termasuk riba?! Kami jawab: Wahai saudaraku, janganlah engkau tertipu dengan perubahan nama. Demi Allah, kalau bunga Bank itu tidak dinamakan dengan riba, maka tidak ada riba di dunia ini, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta, inilah keadaan bunga bank konvensional itu.
Kami tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Cukuplah sebagai renungan bagi kita bahwa telah digelar berbagai seminar dan diskusi tentang masalah ini, semunya menegaskan kebulatan bahwa bunga Bank konvensional adalah riba yang diharamkan Allah[5]. Bahkan dalam muktamar pertama tentang perekonomian Islam yang digelar di Mekkah dan dihadiri oleh tiga ratus peserta yang terdiri dari ulama syari’at dan pakar ekonomi internasional, tidak ada satupun di antara mereka yang menyelisihi tentang haramnya bunga Bank.
Sebagai faedah, kami akan menyebutkan beberapa fatwa dan muktamar besar yang menyimpulkan haramnya bunga Bank:
1. Keputusan muktamar kedua Majma’ Buhuts Islamiyyah di Kairo pada bulan Muharram tahun 1385 H/Bulan Mei tahun 1965 M dan dihadiri oleh para peserta dari tiga puluh Negara.
2. Keputusan muktamar kedua Majma’ Fiqih Islami di Jeddah pada 10-16 Rabi’ Tsani 1406 H/22-28 Desember 1985 M.
3. Keputusan Majma’ Robithoh Alam Islami yang diselenggarakan di Mekkah hari sabtu 12 Rojab 1406 H sampai sabtu 19 Rojab 1406 H.
4. Keputusan muktamar kedua tentang ekonomi Islami di Kuwait pada tahun 1403 H/1983 M.
5. Keputusan Majma’ Fiqih Islam di India pada bulan Jumadi Ula 1410 H.[6]
• Setelah menukil ijma’ ulama tentang masalah haramnya bunga bank, DR. Ali bin Ahmad As-Salus mengatakan:
“Dengan demikian, maka masalah bunga bank menjadi masalah haram yang jelas dan bukan lagi perkara yang samar, sehingga tidak ada ruang lagi untukperselisihan dan fatwa-fatwa pribadi”.[7]
Setelah konsensus ini, maka janganlah kita tertipu dengan berbagai syubhat (kerancuan) sebagian kalangan[8] yang berusaha untuk membolehkan riba Bank, apalagi para ulama telah bangkit untuk membedah syubhat-syubhat tersebut.[9]
E. BEKERJA DI BANK ?
Bila kita ketahui bahwa Bank adalah tempat riba yang diharamkan dalam Islam, maka bekerja di Bank hukumnya adalah haram, karena hal itu berarti membantu mereka dalam keharaman dan dosa, atau minimalnya adalah berarti dia ridho dengan kemunkaran yang dia lihat. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini merupakan kaidah umum tentang larangan tolong menolong di atas dosa dan kemaksiatan. Oleh karenanya, para ahli fiqih berdalil dengan ayat di atas tentang haramnya jual beli senjata pada saat fitnah, jual beli lilin untuk hari raya Nashoro dan sebagainya, karena semua itu termasuk tolong menolong di atas kebathilan.
Lebih jelas lagi, perhatikan bersamaku hadits berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
• Imam Nawawi berkata: “Hadits ini jelas menunjukkan haramnya menjadi sekretaris untuk riba dan saksinya. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membantu kebathilan”.[10]
Para ulama kita sekarang telah menegaskan tentang tidak bolehnya menjadi pegawai Bank, sekalipun hanya sebagai satpam. Kewajiban baginya adalah menghindari dari laknat Allah dan mencari pekerjaan lain yang halal, sesungguhnya Allah Maha luas rizkiNya.[11]
F. BOLEHKAH MENYIMPAN UANG DI BANK?
Pada asalnya menyimpan uang di Bank hukumnya tidak boleh karena hal itu termasuk membantu kelancaran perekonomian riba yang jelas hukumnya haram, sebab uang tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan riba. Oleh karena itu, maka pada asalnya setiap muslim harus putus hubungan dan thalak tiga dengan Bank. Hanya saja, pada zaman sekarang terkadang seorang tidak bisa menghindari diri dari Bank, sehingga para ulama membolehkannya apabila dalam keadaan dharurat sekali dan tidak ada cara lain untuk menyimpan hartanya.
Dari sini, dapat kita katakan bahwa orang yang menyimpan uang di Bank tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama: Orang yang ingin membungakan dan mengembangkan hartanya dengan jalan riba. Tidak ragu lagi bahwa orang ini telah terjatuh dalam keharaman dan terancam dengan peperangan Allah dan rasulNya. Lantas, siapakah yang menang jika berhadapan dengan Allah dan rasulNya?!
فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqoroh: 279)
Kedua: Orang yang ingin menyimpan hartanya agar aman. Hal ini terbagi menjadi beberapa keadaan:
1. Apabila ada tempat lain atau bank Islam yang bersih dari riba untuk penyimpanan secara aman, maka tidak boleh dia menyimpan di bank konvensional karena tidak ada kebutuhan mendesak dan ada pengganti lainnya yang boleh.
2. Apabila tidak ada bank Islami yang bersih dari riba atau tempat aman lainnya padahal dia sangat khawatir bila harta tersebut akan dicuri atau lainnya, maka hukumnya adalah boleh karena dharurat. Hal ini berbeda-beda sesuai keadaan manusia. Artinya, tidak semua orang terdesak untuk menyimpan uangnya di Bank. Maka hendaknya seorang bertaqwa dan takut kepada Allah, janganlah dia meremehkan dengan alasan dharurat padahal tidak ada dharurat sama sekali sebagaimana banyak dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin.[12]
G. MEMANFAATKAN BUNGA BANK ?
Kalau kita katakan bahwa boleh menabung di Bank dalam kondisi dharurat, maka tentu saja akan muncul pertanyaan: Apa yang kita perbuat dengan bunga (baca: riba) yang diberikan Bank kepada tabungan kita?!
Kami katakan: Ada beberapa kemungkinan apa yang kita lakukan terhadapnya:
1. Mengambilnya dan memanfaatkannya seperti uang pokok.
2. Membiarkannya untuk Bank agar dimanfaatkan sesuka Bank.
3. Mengambilnya lalu merusaknya.
4. Mengambilnya lalu memberikannya kepada fakir miskin atau untuk keperluan umum bagi kemaslahatan kaum muslimin
5. Mengambilnya dan memberikannya kepada orang yang dizhalimi oleh Bank dengan riba.
Pendapat yang paling mendekati kebenaran -menurut kami- adalah pendapat keempat yaitu mengambilnya dan memberikannya kepada fakir miskin atau keperluan umum bukan dengan niat sedekah tetapi untuk membebaskan diri dari uang yang haram. Inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama seperti Lajnah Daimah[13], al-Albani[14], Musthofa az-Zarqo dan lain sebagainya[15].
H. SOLUSI DAN SERUAN
1. Setelah keterangan singkat di atas maka sudah semestinya bagi kaum muslimin, khususnya kepada para pemimpin[16] untuk mengingkari bersama praktek riba yang berkembang di Bank dan berusaha untuk mendirikan Bank-Bank Islam yang bersih dari riba dan sesuai dengan undang-undang syari’at Islam yang mulia, atau memperbaiki bank-bank Islam yang sudah ada karena masih disinyalir oleh banyak kalangan belum bersih dari praktek riba dan belum memadai pelayanannya di semua penjuru kota.
2. Sungguh keji keji ucapan seorang bahwa tidak ada Bank kecuali dengan bunga dan tidak ada kekuatan ekonomi Islam kecuali dengan Bank[17]. Ini adalah kedustaan nyata, sebab sepanjang sejarah Islam berabad-abad lamanya, perekonomian mereka stabil tanpa Bank Riba.
3. Sekali lagi, kami menghimbau kepada para ulama, para pemimpin, para ahli ekonomi, para pedagang besar untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah ini dengan harapan agar Bank-Bank Islam yang bersih dari kotoran riba akan banyak bermunculan di Negeri kita tercinta sehingga kita tidak lagi membutuhkan kepada bank-bank riba. Dan kewajiban bagi setiap muslim untuk bahu-membahu mendukung ide tersebut agar mereka selamat dari jeratan riba yang menyebabkan murka Allah
DAFTAR REFERENSI
1. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh fil Fiqih Al-Islami karya DR. Muhammad Utsman Syubair, cet Dar Nafais, Yordania, cet keenam tahun 1427 H.
2. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh karya Sa’aduddin Muhammad Al-Kibbi, cet Maktab Islami, Bairut, cet pertama 1423 H.
3. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad As-Saidi, cet Dar Thoibah, KSA, cet kedua 1421.
4. Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh karya Muhammad Burhanuddin, cet Darul Qolam, Bairut, cet pertama 1408 H.
5. Fawaidul Bunuk Hiya Riba Al-Harrom karya DR. Yusuf al-Qorodhawi, cet Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet kedua tahun 1423 H.
6. Dan lain-lain.

THAHARAH

A. PENGERTIAN

Thaharah menurut bahasa berasal dari kata طَهَرَ – يَطْهُرُ- طَهَارَةً أَوْ طُهُوْرًا yang berarti suci, bersih dari hadats dan najis. Sedangkan menurut Isthilah Thaharah memiliki arti aktifitas yang dilakukan dalam rangka membersihkan jasmani dari kotoran najis ataupun hadats dengan cara-cara tertentu yang diatur oleh syariat Islam.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa Thaharah dalam Islam terbagi dalam dua jenis , yaitu ;
- Thaharah / bersuci dari hadats
- Thaharah / bersuci dari najis.
Bersuci dari hadats dapat dilakukan dengan mandi, berwudhu, dan tayammum. Sedangkan bersuci dari najis dapat dilakukan dengan membersihkan najis dari kotoran dengan air atau batu.
Sedangkan menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairi ( 2005 : 270 ) Thaharah itu digolongkan menjadi dua macam yakni thaharah lahir dan bathin. Tharah bathin ialah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat dengan bertaubat secara benar dari semua dosa dan maksiat. Demikian pula membersihkan hati kita dari semua kotoran syirik, ragu-ragu dalam beriman kepada Allah, was-was, dengki, iri, riya’, sum’ah dengan ikhlas, keyakinan, cinta kebaikan, lemah lembut, benar dalah segala hal, tawadhu’. Dan menginginkan semua amal kebaikan diridhoi oleh Allah SWT dengan selalu berniat ikhlas,lurus, dan menepti tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan thaharah lahir yaitu membersihkan lahiriyah jasmani kita dari hadats dan najis. Secara makna sama dengan definisi yang penulis sampaikan. Hanya sajajenis thaharah yang akan dibahas disini adalah Thaharah Lahiriyah seperti berwudhu, tayamum, mandi besar dan membersihkan najis.
B. HUKUM THAHARAH

Thaharah hukumnya wajib bagi setiap muslim dalam rangka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah ta’ala berfirman ,
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. “ ( QS. Al Maidah : 6 )

Demikian pula firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah : 222
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Dua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk melakukan Thaharah setiap kali mereka melakukan aktifitas Ibadah, hal itu dikarenakan Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang selalu menjaga kesucian dan bertaubat kepadaNya.

Bahkan di dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam banyak diriwayatkan hadits-hadits tentang hukum Thaharah ini, seperti dalam hadits berikut ;
مفتاح الصلاة الطهور
Artinya : “ Kunci untuk melakukan shalat adalah suci / thaharah ( bersih dari hadats dan najis ) “ ( Al Hadits )
لا تقبل صلاة بغير طهور
Artinya : “ Shalat seseorang itu tidakn akan diterima kecuali dengan bersuci ( thaharah ) “ ( HR. Muslim )
الطهور شطر الايمان
Artinya : “ Thaharah itu sebagian dari keimanan “ ( HR. Muslim )

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin ( www.ibnothaimeen.com ) dalam kitab Fiqhul Ibadah mengatakan ;
الطهارة معناها: النظافة والنزاهة ، وهي في الشرع على نوعين : طهارة معنوية، وطهارة حسية، أما الطهارة المعنوية: فهي طهارة القلوب من الشرك والبدع في عبادة الله ، ومن الغل، والحقد، والحسد، والبغضاء ، والكراهة ، وما أشبه ذلك في معاملة عباد الله الذين لا يستحقون هذا .
أما الطهارة الحسية: فهي طهارة البدن ، وهي أيضاً نوعان: إزالة وصف يمنع من الصلاة ونحوها مما تشترط له الطهارة وإزالة الخبث.

Thaharah maknanya kebersihan dan kesucian. Sedangkan menurut syariat Thaharah ada dua jenis yakni thaharah maknawiyah dan thaharah hissiyah.
• Thaharah Maknawiyah adalah thaharah ( mensucikan ) hati dari perbuatan syirik dan bid’ah dalam beribadah kepada Allah, dengki, benci, hasad, permusuhan dan kebencian terhadap orang lain, dan yang serupa dengan perbuatan-perbuatan itu didalam bermuamalah dengan orang lain yang mereka tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan buruk seperti itu.
• Sedangkan Thaharah Hissiyah maka dia adalah mensucikan badan, dan itu juga ada dua jenis yaitu menghilangkan satu sifat yang menghalangi seseorang dari shalat dan sejenisnya dari hal-hal yang disyaratkan untuk bersuci baginya, dan menghilangkan hadats atau kotoran."

C. BENDA-BENDA YANG BISA DIGUNAKAN UNTUK THAHARAH

Thaharah dapat dilakukan dengan alat-alat seperti ;
a. Air yang suci
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam kitab Fiqhul Ibadah mengatakan :
فالأصل فيها الماء ، ولا طهارة إلا بالماء، سواء كان الماء نقياً أم متغيراً بشيء طاهر ، لأن القول الراجح أن الماء إذا تغير بشيء طاهر وهو باق على أسم الماء، أنه لا تزول طهوريته ، بل هو طهور ، طاهر في نفسه ، مطهر لغيره.

“ Asal hukum thaharah adalah dengan air, dan tidak sah thaharah kecuali dengan air sama saja apakah air itu bersih, tidak tercampur ataupun berubah karena sesuatu, air itu tetap suci. Karena pendapat yang rajah ( kuat ) dalam hal ini adalah bahwa air itu jika berubah karena sesuatu, tetap suci. Dan dia itu tetap dinamakan air, dan tidakn hilang kesuciannya bahkan air itu suci lagi mensucikan.”


b. Debu yang suci
Jika keberadaan air sulit dijangkau, atau tidak ada dan tidak mencukupi untuk bersuci maka sebagai penggantinya adalah dengan debu yang suci. Karena sesungguhnya debu itu adalah sebanding kesuciannya dengan air. Sebagaimana firman Allah SWT ;
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Artinya : “ Bertayamumlah kamu dengan debu yang baik dengan cara usapkan ke arah mukamu dan kedua tanganmu “ ( QS. Al Maidah : 6 )

Dan dimaklumi dalam hadits nabi SAW berikut ini,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالُوا أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ أَقَامَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ حَبَسْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي فَلَا يَمْنَعُنِي مِنْ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَتَيَمَّمُوا فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ
Artinya : Dari Abdullah bin Yusuf dia berkata: Bercerita kepada kami Malik bin Abdurrahman bin Al Qasim dari ayahnya, dari ‘Aisyah istri nabi SAW, dia berkata : Aku bepergian bersama beliau SAW pada sebaian perjalanan beliau SAW. Sampai kami pada satu tempat Baida’I atau Dzatul Jaisy, beliau memotong tali yang ada padaku, lalu beliau berdiri dengan tongkatnya diikuti oleh para sahabat yang turut serta bepergian. Dan mereka tidak membawa air, kemudia datanglah mereka semua itu kepada Abu Bakar Ash Shidiq RA, lalu mereka bertanya kepada Abu Bakar : “ Anda tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah ? “. Lalu kemudia Abu Bakar pun mendatanginya, sedangkan Rasul tertunduk memandangi kedua pahaku ( Aisyah ), sungguh beliau tertidur. Ketika kondisi yang demikian, dan orang-orang waktu itu tidak mempunyai air. Abu Bakar pun berkata ; “ kamu telah menahan Rasul sedang orang-orang tidak mempunyai air ?”. Lalu Abu Bakar pun berkata lagi ; “Masya Allah “. Dalam keadaan seperti itu, rasulullah pun terbangun dan menndapati orang-orang tidak memiliki air pada waktu subuh, lalu turnlah ayat tayammum diatas.” ( Fathul Bari Syarh Al Bukhari, kitab Tayammum )

c. Batu, tisu, daun dan sejenisnya
Kertas tissue termasuk benda yang bisa digunakan untuk membersihkan diri dari buang air kecil atau buang air besar. Dalam bahasa fqihnya, menggunakan benda selain air yang digunakan untuk istija` disebut "istijmar".
Memang praktek aslinya dahulu di masa Rasulullah SAW lebih banyak menggunakan batu. Yaitu tiga buah batu yang berbeda yang digunakan untuk membersihkan bekas-bekas yang menempel saat buang air.
Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW :
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang beristijmar (bersuci dengan batu) maka hendaklah berwitir (menggunakan batu sebanyak bilangan ganjil). Siapa yang melaksanakannya maka dia telah berbuat ihsan dan siapa yang tidak melakukannya tidak ada masalah." (HR. Abu Daud, Ibju Majah, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban)

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila seorang kamu datang ke WC maka bawalah tiga buah batu, karena itu sudah cukup untuk menggantikannya."(HR. Abu Daud, Baihaqi dan Syafi`i).
"Janganlah salah seorang kamu beristinja, kecuali dengan tiga buah batu." (HR. Muslim)
Tentang ketentuan apakah memang mutlak harus tiga batu atau tidak, para ulama sedikit berbeda pendapat. Pertama, kelompok Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa jumlah tiga batu itu bukan kewajiban tetapi hanya mustahab (sunnah). Dan bila tidak sampai tiga kali sudah bersih maka sudah cukup.
Sedangkan kelompok Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah mengatakan wajib tiga kali dan harus suci / bersih. Bila tiga kali masih belum bersih, maka harus diteruskan menjadi empat, lima dan seterusnya.
Sedangkan selain batu, yang bisa digunakan adalah semua benda yang memang memenuhi ketentuan dan tidak keluar dari batas yang disebutkan :
• Benda itu bisa untuk membersihkan bekas najis.
Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis.
• Benda itu bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas, perak atau permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera atau bahan pakaian tertentu, karena tindakan itu merupakan pemborosan.
• Benda itu bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu atau pasir.
• Benda itu tidak melukai manusia seperti potongan kaca beling, kawat, logam yang tajam, paku.
• Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair. Namun ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya selain air seperti air mawar atau cuka.
• Benda itu harus suci, sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi / kotoran binatang tidak diperkenankan.
• Tidak boleh juga menggunakan tulang, makanan atau roti, kerena merupakan penghinaan.
• Bila mengacu kepada ketentuan para ulama, maka kertas tissue termasuk yang bisa digunakan untuk istijmar.

Namun para ulama mengatakan bahwa sebaiknya selain batu atau benda yang memenuhi kriteria, gunakan juga air. Agar isitnja` itu menjadi sempurna dan bersih. Wallahu a’lam bish shawab

DAFTAR PUSTAKA :
- ENSIKLOPEDI MUSLIM, Syaikh Abu bakar Al Jazairi, Darul Falah, Jakarta, 2005
- Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, Pena Press, Jakarta, 2008.
- www.ibnothaimeen.com
- dll.