Minggu, 10 Januari 2010

Jangan lupakan Al Quran

Zaman semakin cepat berlalu, waktu untuk berdzikir kepada Allah SWT terasa sangat sempit sekali. Dunia sudah mulai mengoyak hati dan iman manusia. Tak jarang didapati, seseorang dalam keadaan mukmin dipagi hari, berbuat kufur sore harinya. Inilah tanda –tanda akhir zaman,persis seperti yang disinyalir oleh rasul junjungan –shalallahu ‘alaihi wa sallam -.
Akhir-akhir ini muncul banyak kasus, oleh sebab virus-virus penggerogot keimanan yang dihembuskan oleh barat. Mulai dari mode pakaian, tingkah laku, internet sampai lupa waktu shalat bahkan sampai budaya pergaulan yang sudah jauh dari tuntunan syariat. Apa mau dikata ?
Melihat hal ini, tentunya hati yang bersih akan merintih dan menangis, melihat penyakit yang sudah cukup parah kalau tidak mau dibilang sudah sangat parah, menyaksikan anak-anaknya begitu gandrung dengan artis pujaannya yang menggebrak panggung. Bersama dengan sang bintang, mereka melantunkan lagu dengan penuh penghayatan. Astaghfirullahal ‘adhiem.
Memang dalam masalah ini ada polemik sengit seputar hukum musik. Akan tetapi yang perlu kita cermati adalah dampak negatifnya. Lihatlah dampak buruk itu bagi agama anak-anak kita nantinya. Kecintaaan pada lagu dan sang bintang tak berhenti pada saat menghadiri konser musik, saat tidak menghadap panggung pun banyak yang ingat pada lagu-lagu sang bintang. Sekadar mengisi waktu luang, begadang, atau sambil berjalan mulut mereka tak segan melantunkan lagu. Kenapa ini bisa terjadi? Tak lain karena saking cintanya pada alunan lagu yang begitu merdu. Dimana-mana lagu dan musik menjadi hal yang digandrungi oleh anak-anak muda. Terlebih lagu-lagu cinta yang menggelorakan perasaan hampa tanpa kehadiran lawan jenis. Lagu seakan menjadi dzikir harian yang selalu disimak dan dialunkan.
Sementara dzikir yang hakiki, yaitu mengingat Allah, menyebut asma-Nya, mengagungkan-Nya, berdoa kepada-Nya dan mentadabburi firman-Nya menjadi hal yang terlupa. Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai bentuk upaya preventif bagi kebaikan agama anak-anak kita. Siapa yang salah jika keadaannya berubah jadi begini ?

Ada yang Lebih Layak
Kita semua memahami, bahwa sebenarnya ada sesuatu yang lebih layak untuk dicintai dan dipergauli dengan baik dibandingkan lagu atau yang selainnya. Anak-anak kita setiap hari diajari Al Quran di sekolah, tetapi yang keluar dari mulut mereka bukan lantunan ayat suci yang menenangkan hati orang yang mendengarnya. Al Quran berisi semua hal yang membawa manfaat dan membangkitkan kebahagiaan bagi kita. Bukankah setiap kita ingin bahagia? Tentu saja, karena segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini tak jauh-jauh dari keinginan untuk meraih kebahagiaan. Sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan itulah yang paling layak untuk dicintai. Begitu juga Al Quran menunjukkan jalan yang lempang bagi kehidupan kita. Orang yang mau mengikuti petunjuk Al Quran pasti tak akan sesat dalam berkehidupan. Bila kita mau merenungi dan memahami Al Quran, maka hal tersebut akan membersihkan hati sekaligus mengobatinya. Ia pun akan menumpas segala keragu-raguan dan kerancuan pemikiran yang ditiupkan oleh manusia atau jin.
Kemanakah gerangan perginya harapan akan hasil sebuah pembelajaran al Quran setiap harinya ?.
Aktivitas pendidikan terkait dengan perubahan yang secara moral bersifat lebih baik, ciri perubahan atau kemajuan secara fundamental yakni perkembangan internal diri manusia yaitu keimanan dan ketaqwaan, bukan hanya perubahan eksternal yang cenderung bersifat material yang dapat menghancurkan keimanan dan ketaqwaan manusia.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, produk pendidikan sering hanya diukur dari perubahan eksternal yaitu kemajuan fisik dan material yang dapat meningkatkan pemuasan kebutuhan manusia. Masalahnya adalah bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan sering bersifat tidak terbatas, bersifat subyektif yang justru dapat menghancurkan harkat kemanusiaan yang paling dalam yaitu kehidupan rohaninya. Produk pendidikan berubah menghasilkan manusia yang cerdas dan terampil untuk melakukan pekerjaannya, tetapi tidak memiliki keimanan, akhlaq karimah apalagi rasa malu berboat dosa bahkan kepedulian dan perasaan terhadap sesama manusia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan menjadi instrumen kekuasaan dan kesombongan untuk memperdayai orang lain, berbohong, bahkan kecerdikannya digunakan untuk menipu dan menindas orang lain, produk pendidikan berubah menghasilkan manusia yang serakah dan egois. Wal ’iyadzubillah
Ketidakberhasilan tertanamnya nilai-nilai rohaniyah (keimanan dan ketaqwaan) terhadap peserta didik (murid) dewasa ini sangat terkait dengan dua faktor penting dalam proses pembelajaran di samping banyak faktor-faktor yang lain.
Kedua faktor tersebut adalah strategi pembelajaran serta orang yang menyampaikan pesan-pesan ilahiyah dalam hal ini adalah kompetensi guru sebagai sang murabbi. Dalam sistem pendidikan Islam seharusnya menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriyah dan batiniyah), di samping itu keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat ditunjang oleh kepribadian setiap penyampai pesan yakni sang guru.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merenungi pesan para ulama pendahulu. Bagaimana semangat mereka para ulam dalam menuntun umat ini menjadi tetap istiqamah degan agamanya.
Ibrahim Al-Khowash –disebutkan namanya Ibrahim An-Nak'I- berkata : "Obat hati ada lima : membaca Al-Quran dan mentadabburkannya, mengosongkan perut, qiyamullail, memohon ampun di waktu sahur dan duduk bersama para shalihin".
Al-A'masy berkata : "Ketika saya masuk kerumah Ibrahim (An-Nakh'I) yang sedang membaca Mushaf, namun ada seseorang meminta izin kepadanya maka belaiupun menutup mushafnya ! dan dia berkata : Tidak seorangpun saya melihat seseorang membaca Al-Quran setiap saat kecuali anda". Dari Abu Al-'Aliyah berkata : Saat duduk bersama sahabat Rasulullah saw maka seorang dari mereka berkata : Semalam saya membaca Al-Quran segini…, mereka berkata : ini adalah nasibmu-ganjaran- darinya". Seakan-akan tidak ada ganjaran lain dari sisi Allah, karena meminta pujian dari manusia, karena itu dia mengambilkan upah sebagai pujian dari manusia.
( lihat At-Tibyan : 60 )
Abu Abdurrahman bin Habib As-Sulmi Al-Kufi telah pensiun dari mengajarkan Al-Quran kepada manusia semenjak Utsman menjadi khalifah sampai musim haji tiba…mereka berkata; bahwa batas beliau mengajarkan Al-Quran selama 70 tahun". (lihat Fadhail Al-Quran : 40)
Dengan giat mereka memandu anak-anaknya untuk belajar kitabaallah. Proses pengajaran Al Quran sejak dini pada anak-anak inilah yang nantinya diharapkan mampu menanamkan makna-makna hakiki Al Quran ke dalam jiwa dan hati mereka. Disamping itu, secara perlahan-lahan akan tumbuh dan berkembang dalam jiwa mereka untuk mencintai Al Quran, sehingga hati mereka terikat pada segala apa yang tersurat dan tersirat dalam Al Quran.
Mengajarkan Al Quran pada anak-anak menurut Imam As Suyuthi merupakan dasar pendidikan Islam yang pertama yang harus mendapat nilai prioritas utama. Kita sebagai orang tua wajib memperhatikan hal utama ini.Karena pada usia itu masih dalam keadaan fithrah dan merupakan masa yang paling mudah untuk mendapatkan cahaya hidayah dan hikmah yang terdapat di dalam Al Quran, sebelum hawa nafsu masuk dan mulai menggerogoti dan mengarahkan kepada kemaksiatan.
Ibnu Khaldun juga menegaskan, bagi orang tua yang mengajarkan Al Quran pada anak-anaknya merupakan salah satu bentuk syiar agama sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Metode ini merupakan tahap awal untuk ditindaklanjuti oleh para orang tua yang pada akhirnya anak akan merasakan nikmatnya iman yang kokoh dan akidah yang kuat berkat pemahaman dan interaksinya selama ini dengan Al Quran. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: