Senin, 26 Juli 2010

AKHLAQ MENUNTUT ILMU

AKHLAK SEBELUM MENUNTUT ILMU

Ketahuilah – semoga Allah memberkahi kehidupan kalian - ………………
Sungguh kalian akan mencari sebuah perkara yang paling agung, paling mulia, yang dipuji dan dimuliakan para pemiliknya, diangkat derajatnya, dan akan semakin ditinggikan disisi Allah SWT, dan dihadapan para makhluk Nya, untuk itu berhiaslah dengan akhlak yang mulia saat engkau berusaha meraihnya.
Mungkin engkau masih bingung tentang akhlak apa yang kamu berhias dengannya. Oleh karenanya, aku tunjukkan kepadamu beberapa akhlak tersebut sebagai berikut ;

a. Niatkanlah urusanmu menuntut ilmu ini dengan ikhlas karena Allah SWT. Kenapa ? karena menuntut ilmu adalah ibadah, dan engkau tahu bahwa ibadah itu hanya untuk Allah, tidak boleh ditujukan kepada yang lain seperti karena ingin mengharapkan kaya atau yang lainnya. Jika kamu berniat demikian maka segeralah luruskan niatmu kembali untuk Allah saja, jika tidak maka berarti engkau telah berbuat syirik dalam amal perbuatan yang mulia ini. Na’udzubillahi min dzalik. Diriwayatkan dari Ka’ab bin Malik-radhiyallahu’anhu- berkata : “ Aku mendengar rasulullah SAW bersabda ;
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو ليصرف به وجوه الناس اليه أدخاه الله النار ( رواه الترمذي )
Artinya : “ barang siapa yang menuntut ilmu untuk menandingi Ulama, meremehkan ulama dengan tidak mendengarkan penjelasannya, atau untuk membodohi orang yang belum tahu, atau agar manusia kagum terhadap dirinya, maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka. “ ( HR. At Tirmidzi )

b. Berhiaslah dengan amal perbuatan yang baik, akhlak yang mulia.
Imam Al Khatib Al Bagdadi berpesan : “ Seorang murid itu adalah orang yang paling sempurna dalam beradab, paling patuh dengan apa yang disampaikan guru, paling semangat untuk melakukan ibadah dan beragama, selalu mendengarkan khabar penjelasan gurunya, dan memenuhi kehidupan sehariharinya dengan akhlak yang baik lagi mulia “ ( Al jami li akhlaqirrawai I/ 78 )

c. Memberikan ilmunya kepada orang yang membutuhkan. Hendaklah seorang murid itu tolong menolong dalam memahami pelajaran yang dihadapinya. Jika melihat saudaranya belum paham, maka yang paham wajib hukumnya memberikan dan membantu agar temannya paham dengan pelajaran tersebut.
d. Mengamalkan apa yang telah dipelajari.
Amr bin Qais berkata : “ Bila telah sampai kepadamu sedikit berupa kebaikan, maka berbuatlah kebaikan itu, sekalipun hanya sekali, sebab engkau akan menjadi pemilik ilmu itu “

e. Menghormati gurumu dan memuliakannya.
Nabi SAW bersabda :” Tidak termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua darinya, dan tidak menyayangi orang yang lebih kecil darinya “ (HR. Ahmad )

ADAB SAAT PEMBELAJARAN
a. Memilih tempat duduk yang dekat dengan guru, agar dapat menerima pelajaran dengan jelas dan tidak ada kesalahpahaman dengan konsep atau rumus yang diberikan oleh Guru.
b. Tidak menyibukkan diri disaat pelajaran dengan sesuatu yang melalaikan konsentrasi belajar baik dikelas ataupun diluar kelas.
c. Tidak mengganggu teman yang sedang belajar dengan membuat gaduh ataupun usil kepada mereka.
d. Jika datang terlambat padahal pelajaran sudah dimulai, hendaklah meminta ijin masuk terlebih dahulu dengan mengucapkan salam lebih dulu.
e. Tidak keluar kelas selama belum diijinkan oleh gurunya,
f. Senang menunggu dan rindu akan kedatangan gurunya selama belum datang.
g. Menghindari sikap duduk yang tidak sopan didepan guru, baik dengan cara memanjangkan kedua kakinya ( slonjor ), atau meletakkan kedua tangannya dipunggungnya, atau bersuara keras melebihi suara gurunya.
Abdullah Bin Abbas berkata ; “ Pintu ilmu itu ada lima ; mendengarkan, memahami, menghafalkan, mengamalkan, dan bersabar dalam menyebarkannya “. ( Hilyah tholibil ‘ilmi ).
PENGHALANG-PENGHALANG DALAM BELAJAR
a. Niat yang tidak ikhlas, menuntut ilmu bukan untuk tujuan ibadah tetapi karena terpaksa atau ingin menyaingi temannya.
b. Tidak mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, bisa disebabkan malas atau yang lainnya.
c. Menunda-nunda belajar dan mengamalkan.
d. Tidak mau mengulang kembali pelajaran yang telah lewat.
e. Berangan-angan bahwa yang lalu itu sangat gampang, tidak perlu belajar lagi.

OH..... IBU , MAAFKAN ANAKMU INI

Marilah kita bertakwa kepada Allah. Kita laksanakan kewajiban yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu berupa hak-hak-Nya dan hak para hamba-Nya. Dan ketahuilah, hak manusia yang paling besar atas diri kalian ialah hak kedua orang tua dan karib kerabat. Allah menyebutkan hak tersebut berada pada tingkatan setelah hak-Nya.
Wahai anakku, ketahuilah bahwa tuhanmu yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَا عْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَنًا
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa ... " [an-Nisâ`/4:36].
Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat Luqmân/31 ayat 14:
وَوَ صَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَا لِدَ يْهِ حُسْنًا
"(Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ...)"
Selanjutnya Allah menyebutkan alasan perintah ini, yaitu:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
"(ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah)".
Yakni keadaan lemah dan berat ketika mengandung, melahirkan, mengasuh dan menyusuinya sebelum kemudian menyapihnya.
Kemudian Allah berfirman:

وَفِصَالُهُ فِىْ عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِىْ وَلِوَالِدَ يْكَ اِلَىَّ الْمَصِيْرُ

"(dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu)".

Demikian pula Nabimu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan bakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada berjihad di jalan Allah. Disebutkan dalam shahîhaian dari 'Abdullâh bin Mas'ûd, ia berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

"Aku bertanya kepada Nabi; "Amalan apakah yang paling utama?" Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya." Aku bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi: ”Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.”

Anakku,….
Pak Guru ingin mencertakan kepadamu satu hal, yang cerita ini dikisahkan dalam kitab Shahîh Muslim, bahwa ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: "Aku berbaiat kepadamu untuk berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Aku mengharap pahala dari Allah.” Beliau bertanya,”Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab,"Ya, bahkan keduanya masih hidup,” beliau bersabda,”Engkau mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab,”Ya." beliau bersabda,"Pulanglah kepada kedua orang tuamu, kemudian perbaikilah pergaulanmu dengan mereka."
Lihatlah wahai anakku ,…..
Bagaimana nabimu mencontohkanmu tentang keutamaan berbakti kepada orang tua. Dalam riwayat lain disebutkan dalam sebuah hadits dengan sanad jayyid (bagus), ada seseorang berkata kepada Nabi : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin berjihad namun aku tidak mampu melakukannya". Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih ada?" Ia menjawab,"Ya, ibuku," beliau bersabda: "Temuilah Allah dalam keadaan berbakti kepada kedua orang tuamu. Apabila engkau melakukannya, maka berarti engkau telah berhaji, berumrah dan berjihad".
Subhaanallah,…………… anakku !
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah berwasiat supaya berbuat baik kepada kedua orang tua di dunia walaupun keduanya kafir. Akan tetapi, apabila keduanya menyuruh untuk berbuat kufur maka sang anak tidak boleh menaati perintah kufur ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".[Luqmân/31:15].
Disebutkan dalam kitab shahîhain, dari Asmâ' binti Abu Bakar Radhiyallahu 'anha, ia menceritakan ketika ibunya datang menyambung silaturrahmi dengannya padahal si ibu masih dalam keadaan musyrik.
Asmâ' bin Abu Bakar - radhiyallahu 'anhuma- bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
"Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku ingin (menyambung hubungan dengan putrinya, Asmâ'), apakah aku boleh menyambung hubungan kembali dengan ibuku".Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Ya, sambunglah."

Cara berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mencurahkan kebaikan, baik dengan perkataan, perbuatan, ataupun harta.
Berbuat baik dengan perkataan, yaitu kita bertutur kata kepada keduanya dengan lemah lembut, menggunakan kata-kata yang baik dan menunjukan kelembutan serta penghormatan.

Berbuat baik dengan perbuatan, yaitu melayani keduanya dengan tenaga yang mampu kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, membantu dan mempermudah urusan-urusan keduanya. Tentu, tanpa membahayakan agama ataupun dunia kita. Allah Mahamengetahui segala hal yang sekiranya membahayakan. Sehingga kita jangan berpura-pura mengatakan sesuatu itu berbahaya bagi diri kita padahal tidak, sehingga kitapun berbuat durhaka kepada keduanya dalam hal itu.
Berbuat baik dengan harta, yaitu dengan memberikan setiap yang kita miliki untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh keduanya, berbuat baik, berlapang dada dan tidak mengungkit-ungkit pemberian sehingga menyakiti perasaan ibu bapak.
Dan ketahuilah, wahai anakku !.
Berbakti kepada kedua orang tua tidak hanya dilakukan tatkala keduanya masih hidup. Namun tetap dilakukan manakala keduanya telah meninggal dunia. Ada sebuah kisah, yaitu seseorang dari Bani Salamah mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

"Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya meninggal?" Beliau menjawab,"Ya, dengan mendoakannya, memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya". [HR Abu Dawud].

Allâhu Akbar! Demikianlah anakku, betapa luas cakupan berbakti kepada kedua orang tua, bahkan termasuk di dalamnya keharusan memuliakan dan menyambung silaturahmi kepada teman kerabat.
Disebutkan dalam kitab Shahîh Muslim, dari 'Abdullâh bin 'Umar bin Khatthâb Radhiyallahu 'anhu :
"Suatu hari beliau Radhiyallahu 'anhu berjalan di kota Makkah dengan mengendarai keledai yang biasa beliau Radhiyallahu 'anhu gunakan bersantai jika bosan mengendarai unta. Lalu di dekat beliau lewatlah seorang Arab Badui. Lantas 'Abdullah bin 'Umar pun bertanya kepadanya:”Benarkah engkau Fulan bin Fulan?” Ia menjawab,”Ya,” kemudian 'Abdullah bin 'Umar memberikan keledainya kepada orang itu sambil berkata,”Naikilah keledai ini.” Beliau juga memberikan sorban yang mengikat di kepalanya seraya berkata,”Ikatlah kepalamu dengan sorban ini,” maka sebagian sahabatnya berkata,”Semoga Allah mengampunimu. Mengapa engkau memberikan keledai kendaraan santaimu dan sorban ikat kepalamu kepada orang itu?” Maka 'Ibnu 'Umar menjawab: ”Orang ini, dahulu adalah teman 'Umar (bapakku), dan aku pernah mendengar Rasulullah berkata,'Sesungguhnya bakti yang terbaik, ialah tetap menyambung hubungan keluarga ayahnya".

Dalam uraian diatas, telah kami sampaikan penjelasan mengenai kedudukan berbakti kepada orang tua dan keagungan martabatnya. Adapun balasan berbakti ini ialah pahala yang besar saat di dunia maupun akhirat. Barang siapa yang berbakti kepada orangtuanya, maka kelak anak-anaknya juga akan berbakti kepadanya, serta memberikan jalan keluar dari kesusahannya.
Dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu disebutkan tentang :
“ Kisah tiga orang yang ingin bermalam di gua, lalu merekapun masuk ke dalamnya. Begitu sampai di dalam gua, tiba-tiba sebongkah batu besar jatuh dan menutup mulut gua tersebut.
Merekapun kemudian bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah dikerjakan supaya mereka bisa keluar. Salah seorang dari mereka berkata:
Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai bapak dan ibu yang sudah sangat tua. Aku tidak pernah memberikan susu kepada keluarga maupun budakku sebelum mereka berdua.
Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari pohon dan belum kembali kepada mereka hingga mereka pun tertidur. Akupun memerah susu untuk mereka. Setelah selesai, ternyata aku mendapatkan mereka berdua telah tertidur. Aku tidak ingin membangunkannya dan tidak memberikan susu kepada keluarga maupun untukku sendiri. Aku terus menunggu mereka sambil membawa mangkuk susu di tanganku hingga terbit fajar. Mereka pun bangun dan meminum susu perahanku.
Ya Allah, sekiranya aku melakukan itu semua karena-Mu, maka bukakanlah batu yang telah menutupi kami ini.
Maka batu itupun bergeser sedikit. Kemudian demikian pula yang lainnya berdoa, bertawasul dengan amalan shalih yang pernah mereka kerjakan. Akhirnya, batu itupun bergeser sehingga gua terbuka dan mereka dapat keluar, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Ketahuilah, berbakti kepada orang tua juga akan mendatangkan keluasan rizki, panjang umur dan khusnul khatimah.
Diriwayatkan dari Sahabat 'Ali bin Abi Thâlib bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang senang apabila dipanjangkan umurnya, diluaskan rizkinya dan dihindarkan dari sû`ul khatimah, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahmi."
Dan sesungguhnya, berbakti kepada orang tua merupakan wujud silaturahmi yang paling mulia, karena orang tua memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan kita.
Seorang mukmin yang berakal, sungguh sangat tidak pantas berbuat durhaka dan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua, padahal ia mengetahui keutamaan berbakti kepadanya, dan balasannya yang mulia di dunia maupun di akhirat. Larangan ini sangat besar.
Apabila telah mencapai usia lanjut, kedua orang tua akan mengalami kelemahan badan maupun pikiran. Bahkan keduanya bisa mengalami kondisi yang serba menyusahkan, sehingga menyebabkan seseorang mudah menggertak atau bersikap malas untuk melayaninya. Dalam keadaan demikian, Allah melarang setiap anak membentak, meskipun dengan ungkapan yang paling ringan. Tetapi Allah memerintahkan si anak supaya bertutur kata yang baik, merendahkan diri dalam perkataan maupun perbuatan di hadapan keduanya. Sebagaimana sikap seorang pembantu di hadapan majikannya. Demikian pula, Allah memerintahkan si anak supaya mendoakan keduanya, semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihi dan merawat si anak tatkala masih kecil.
Sang ibu rela berjaga saat malam hari demi menidurkan anaknya. Iapun rela menahan rasa letih supaya si anak bisa beristirahat dengan cukup. Adapun bapaknya, ia berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Letih pikirannya, letih pula badannya. Semua itu, tidak lain ialah untuk memberi makan dan mencukupi kebutuhan si anak. Sehingga sepantasnya bagi si anak untuk berbakti kepada keduanya sebagai balasan atas kebaikannya.
Dalam kitab shahîhain disebutkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: "Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik?" Rasulullah menjawab,"Ibumu." Orang itu bertanya lagi: "Kemudian siapa lagi?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ibumu." Orang itu mengulangi pertanyaannya: "Kemudian siapa lagi?" Nabi pun kembali mengulangi jawabanya: "Ibumu." Iapun kemudian mengulangi pertanyaanya untuk yang ke empat kalinya: "Kemudian siapa?" Rasulullah menjawab: "Bapakmu."
Semoga Allah memberikan taufik-Nya, sehingga memudahkan kita untuk berbakti kepada ibu bapak. Dan semoga Allah memberi karunia kepada kita keikhlasan dalam melaksanakannya. Sesunggunya Dia-lah Dzat yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.
Referensi : Birrul walidaian, Maktab Darul Wathan, KSA 2001.