Jumat, 30 April 2010

KEISTIMEWAAN AIR ZAM-ZAM

Air Zam-Zam bukanlah air yang asing bagi kaum Muslimin. Air ini mempunyai keutamaan yang sangat banyak. Rasulullah telah menjelaskan kegunaan air tersebut. Beliau bersabda,"Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit." Apa rahasia dibalik air yang banyak memiliki khasiat dan penuh barakah ini?

MAKNA ZAM-ZAM
Kata Zam-Zam dalam bahasa Arab berarti, yang banyak atau melimpah. Adapun air Zam-Zam yang dimaksud oleh syari'at, yaitu air yang berasal dari sumur Zam-Zam. Letaknya dengan Ka'bah, berjarak sekitar 38 hasta.

Dinamakan Zam-Zam, sesuai dengan artinya, karena memang air dari sumur tersebut sangat banyak dan berlimpah. Tidak habis walau sudah diambil dan dibawa setiap harinya ke seluruh penjuru dunia oleh kaum Muslimin.

Dinamakan dengan Zam-Zam, bisa juga diambil dari perbuatan Hajar. Ketika air Zam-Zam terpancar, ia segera mengumpulkan dan membendungnya. Atau diambil dari galian Malaikat Jibril dan perkataannya, ketika ia berkata kepada Hajar.

Disebutkan juga, bahwa nama Zam-Zam adalah 'alam, atau nama asal yang berdiri sendiri, bukan berasal dari kalimat atau kata lain. Atau juga diambil dari suara air Zam-Zam tersebut, karena zamzamatul ma` adalah, suara air itu sendiri.

Nama lain Zam-Zam, sebagaimana telah diketahui, antara lain ia disebut barrah (kebaikan), madhmunah (yang berharga), taktumu (yang tersembunyi), hazmah Jibril (galian Jibril), syifa` suqim (obat penyakit), tha'amu tu'im (makanan), syarabul abrar (minuman orang-orang baik), thayyibah (yang baik) .

SEJARAH MUNCULNYA ZAM-ZAM
Disebutkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, dari hadits Ibnu 'Abbas. Suatu saat, ketika berada di Mekkah, Nabi Ibrahim menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di sekitar Ka`bah, di suatu pohon besar yang berada di atas sumur Zam-Zam. Waktu itu, tidak ada seorangpun di Mekkah, melainkan mereka bertiga. Setelah Nabi Ibrahim Alaihissalam meletakkan kantong berisi kurma dan air, iapun beranjak pergi. Namun Hajar mengikutinya seraya mengatakan,”Wahai Ibrahim, kemanakah engkau akan pergi dengan meninggalkan kami sendiri di tempat yang tiada manusia lain, atau yang lainnya?"

Pertanyaan itu ia ulangi terus, tetapi Nabi Ibrahim tidak menengok kepadanya. Sampai akhirnya Hajar berseru kepadanya,”Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan hal ini?”

“Ya,” jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, Allah tidak akan menyengsarakan kami,” seru Hajar. Kemudian kembalilah Hajar ke tempatnya, dan Nabi Ibrahim terus melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di Tsaniyah -jalan bebukitan, arah jalan ke Kada`. Rasulullah ketika memasuki Mekkah juga melewati jalan tersebut- dan keluarganya tidak dapat melihatnya lagi, Nabi Ibrahim q menghadap ke arah Baitullah, lalu mengangkat kedua tangannya seraya berdoa : "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur" [Ibrahim/14 : 37]

Ibunda Ismail menyusui anaknya dan meminum dari kantong air tersebut. Hingga akhirnya air itupun habis, dan anaknya kehausan. Dia melihat anaknya dengan penuh cemas, karena terus menangis. Dia pun pergi untuk mencari sumber air, karena tidak tega melihat anaknya kehausan.

Pergilah dia menuju bukit terdekat, yaitu bukit Shafa, dan berdiri di atasnya. Pandangannya diarahkan ke lembah di sekelilingnya, barangkali ada orang disana. Akan tetapi, ternyata tidak ada.

Dia pun turun melewati lembah sampai ke bukit Marwa. Berdiri di atasnya dan memandang barangkali ada manusia di sana? Tetapi, ternyata tidak juga. Dia lakukan demikian itu hingga tujuh kali.

Ketika berada di atas bukit Marwa, dia mendengar ada suara, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Diam!" Setelah diperhatikannya ternyata memang benar dia mendengar suara, kemudian dia pun berkata, "Aku telah mendengar, apakah di sana ada pertolongan?"

Tiba-tiba dia melihat Malaikat Jibril, yang mengais tanah dengan kakinya (atau dengan sayapnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain), kemudian memukulkan kakinya di atasnya. Maka keluarlah darinya pancaran air.

Hajar pun bergegas mengambil dan menampungnya. Diciduknya air itu dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam tempat air. Setelah diciduk, air tersebut justru semakin memancar. Dia pun minum air tersebut dan juga memberikan kepada putranya, Ismail. Lalu Malaikat Jibril berkata kepadanya, "Jangan takut terlantar. Sesungguhnya, di sinilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini (Ismail) bersama ayahnya. Dan sesungguhnya, Allah tidak akan menelantarkan hambanya."

Beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang dari kabilah Jurhum turun di lembah Makkah. Mereka turun karena melihat burung -burung yang berputar-putar. Mereka berkata,"Burung ini berputar-putar di sekitar air. Kami yakin di lembah ini ada air," lalu mereka mengirim utusan, dan ternyata benar mereka mendapatkan air. Utusan itupun kembali dan memberitahukan kepada orang-orang yang mengutusnya tentang adanya air. Merekapun kemudian mendatanginya, dan meminta izin dari Ummu Ismail, bahwa mereka akan mampir ke sana. Ummu Ismailpun mempersilahkan dengan syarat, bahwa mereka tidak berhak memiliki (sumber) air tersebut, dan kabilah Jurhum inipun setuju .

PENEMUAN KEMBALI AIR ZAM-ZAM
Ketika Abdul Muthalib sedang tidur di Hijr Ismail, dia mendengar suara yang menyuruhnya menggali tanah.

"Galilah thayyibah (yang baik)!"

"Yang baik yang mana?" tanyanya.

Esoknya, ketika tidur di tempat yang sama, dia mendengar lagi suara yang sama, menyuruhnya menggali barrah (yang baik)?"

Dia bertanya, "Benda yang baik yang mana?" Lalu dia pergi.

Keesokan harinya, ketika tidur di tempat yang sama di Hijr Ismail, dia mendengar lagi suara yang sama, menyuruhnya menggali madhmunah (sesuatu yang berharga).

Dia bertanya," Benda yang baik yang mana?"

Akhirnya pada hari yang keempat dikatakan kepadanya : "Galilah Zam-Zam!"

Dia bertanya,"Apa itu Zam-Zam?"

Dia mendapat jawaban : "Air yang tidak kering dan tidak meluap, yang dengannya engkau memberi minum para haji. Dia terletak di antara tahi binatang dan darah. Berada di patukan gagak yang hitam, berada di sarang semut".

Sesaat Abdul Muthalib bingung dengan tempatnya tersebut, sampai akhirnya ada kejelasan dengan melihat kejadian yang diisyaratkan kepadanya. Kemudian iapun bergegas menggalinya.

Orang-orang Quraisy bertanya kepadanya,"Apa yang engkau kerjakan, hai Abdul Muthalib?

Dia menjawab,"Aku diperintahkan menggali Zam-Zam," sampai akhirnya ia beserta anaknya, Harits mendapatkan apa yang diisyaratkan dalam mimpinya, menggali kembali sumur Zam-Zam yang telah lama dikubur dengan sengaja oleh suku Jurhum, tatkala mereka terusir dari kota Mekkah.

KEUTAMAAN DAN KHASIAT AIR ZAM-ZAM
Dari penjelasan Rasulullah dan para ulama dapat diketahui, bahwa air Zam-Zam memiliki barakah dan keutamaan. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan air Zam-Zam dapat disebutkan sebagai berikut.

عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ (أخرجه أحمد وابن ماجه)

"Dari Jabir dan Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Air Zam-Zam, tergantung niat orang yang meminumnya."

Ibnu Taimiyyah berkata,”Seseorang disunnahkan untuk meminum air Zam-Zam sampai benar-benar kenyang, dan berdoa ketika meminumnya dengan doa-doa yang dikehendakinya. Tidak disunnahkan mandi dengannya (menggunakan air Zam-Zam)."

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ إِنْ شَرِبْتَهُ تَسْتَشْفِي شَفاَكَ الله ُوَإِنْ شَرِبْتَهُ لِشَبْعِكَ أَشْبَعَكَ الله ُوَإِنْ شَرِبْتَهُ لِقَطْعِ ظَمْئِكَ قَطَعَهُ اللهُ وَهِيَ هَزْمَةُ جِبْرَائِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَسُقْيَا اللهِ إسْمَاعِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
رواه الدارقطني والحاكم وقال صحيح الإسناد

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Air Zam-Zam sesuai dengan niat ketika meminumnya. Bila engkau meminumnya untuk obat, semoga Allah menyembuhkanmu. Bila engkau meminumnya untuk menghilangkan dahaga, semoga Allah menghilangkannya. Air Zam-Zam adalah galian Jibril, dan curahan minum dari Allah kepada Ismail."

وَعَنْ أَبِيْ الطُّفَيْلِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ كُنَّا نُسَمِّيْهَا شَبَّاعَةً يَعْنِيْ زَمْزَمَ وَكُنَّا نَجِدُهَا نِعْمَ الْعَوْنُ عَلَى الْعِيَالِ (رواه الطبراني في الكبير)

"Dari Abi Thufail, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda,”Kami menyebut air Zam-Zam dengan syuba'ah (yang mengenyangkan). Dan kami juga mendapatkan, air Zam-Zam adalah sebaik-baik pertolongan (kebutuhan atas kemiskinanan)". [HR Tabrani]

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِسِجِلٍّ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ) رواه أحمد)

"Dari Usamah, bahwasanya Rasulullah meminta untuk didatangkan segantang air Zam-Zam, kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya" [HR Ahmad]

كَانَ يَحْمِلُ مَاءَ زَمْزَمَ ( فِيْ الأَدَاوِيْ وَالْقِرَبِ وَكَانَ يَصُبُّ عَلىَ الْمَرْضَى وَيَسْقِيهِمْ ) ] . ( حديث صحيح)

"Disebutkan dalam Silsilah Shahihah, adalah Rasululllah membawa air Zam-Zam di dalam kantong-kantong air (yang terbuat dari kulit). Beliau menuangkan dan membasuhkannya kepada orang yang sedang sakit".

إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ رَكَضَ زَمْزَمَ بِعَقِبِهِ جَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تَجْمَعُ الْبَطْحَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَحِمَ اللهُ هَاجِراً وَأُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا كاَنَتْ عَيْنًا مَعِيْنًا.
( صحيح )

Tatkala Jibril memukul Zam-Zam dengan tumit kakinya, Ummi Ismail segera mengumpulkan luapan air. Nabi berkata,"Semoga Allah merahmati Hajar dan Ummu Ismail. Andai ia membiarkannya, maka akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan tanah)."

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله - صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيْهِ طَعَامُ الطَّعْمِ، وَشِفَاءُ السَّقْمِ"،

"Dari Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Sebaik-baik air yang terdapat di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit."

Abu Dzar al Ghifari berkata,"Selama 30 hari, aku tidak mempunyai makanan kecuali air Zam-Zam. Aku menjadi gemuk dan lemak perutku menjadi sirna. Aku tidak mendapatkan dalam hatiku kelemahan lapar."

: كُنْتُ أُجَالِسُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَأَخَذَتْنِيْ الحْمُىَ فَقَالَ أَبْرِدْهَا عَنْكَ بِمَاءِ زَمْزَمَ فإَِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ( الْحُمَى مِنْ فيَحْ ِجَهَنَّمَ فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ أَوْ قاَلَ بِمَاءِ زَمْزَمَ ) .

"Dari Hammam, dari Abi Jamrah ad-Duba`i, ia berkata : "Aku duduk bersama Ibnu 'Abbas di Mekkah, tatkala demam menyerangku. Ibnu 'Abbas mengatakan, dinginkanlah dengan air Zam-Zam, karena Rasulullah mengatakan, sesungguhnya demam adalah dari panas Neraka Jahannam, maka dinginkanlah dengan air atau air Zam-Zam"

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّهَا كَانَتْ تَحْمِلُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ وَتُخْبِرُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَحْمِلُهُ

Dari 'Aisyah, ia membawa air Zam-Zam. Ia mengkabarkan, sesungguhnya dahulu Rasulullah membawanya (sebagai bekal-Pen.).

Ibnul Qayyim berkata,"Aku dan selain diriku telah megalami perkara yang ajaib tatkala berobat dengan air Zam-Zam. Dengan izin Allah, aku telah sembuh dari beberapa penyakit yang menimpaku. Aku juga menyaksikan seseorang yang telah menjadikan air Zam-Zam sebagai makanan selama beberapa hari, sekitar setengah bulan atau lebih. Ia tidak mendapatkan rasa lapar, ia melaksanakan thawaf sebagaimana manusia yang lain. Ia telah memberitahukan kepadaku bahwa, ia terkadang seperti itu selama empat puluh hari. Ia juga mempunyai kekuatan untuk berjima', berpuasa dan melaksanakan thawaf ".

Beliau rahimahullah berkata,"Ketika berada di Mekkah, aku mengalami sakit dan tidak ada tabib dan obat (yang dapat menyembuhkannya). Akupun mengobatinya dengan meminum air Zam-Zam dan membacakan atasnya berulangkali (dengan al Fatihah), kemudian aku meminumnya. Aku mendapatkan kesembuhan yang sempurna. Akupun menjadikannya untuk bersandar ketika mengalami rasa sakit, aku benar-benar banyak mengambil manfaat darinya."

Demikian penjelasan singkat tentang air Zam-Zam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita dan membenarkan khasiat dan keutamaan air yang tak pernah kering tersebut, meskipun setiap hari diambil oleh banyak manusia. Dengan mengetahui secara sepintas air Zam-Zam ini, maka hendaknya dapat meningkatkan dan memperkuat sandaran dan ketergantungan kita kepada Allah. Dia-lah yang Maha Penguasa mengatur segala yang Ia kehendaki.
Wallahu a'lam.

Sumber Bacaan :
- Shahihul-Bukhari, 3/1190, Cet Daar Ibnu Katsir, al Yamamah, Beirut.
- Fat-hul Bari, 6/402, Cetakan tahun 1379, Darul Ma`rifah, Beirut.
- Shahih Muslim, 4/1919, Cetakan Dar Ihya Turats Arabi, Beirut.
- Syarh Nawawi 'ala Muslim, 8/194, Cetakan Dar Ihya` Turats al Arabi, Beirut.
- Sunan Tirmidzi, 3/295, Cetakan Dar Ihya` Turats al Arabi, Beirut.
- Bidayah wan-Nihayah, Ibnul Katsir, 2/244-245, Cetakan Maktabah al Ma`arif, Beirut.
- Musnad Ahmad, Cetakan Muassasah al Qurtubah, Mesir, halaman 1/291.
- Zaadul Maad, Cetakan Muassasah ar Risalah, Beirut, 4/162.
- Shahih Sirah Nabawiyah, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Urdun, Beirut
- Irwa-ul Ghalil, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Mukhtashar Irwa`, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Manasik Haji wal Umrah, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Al Mutli` 'ala Abwabul-Fiqh, al Bali, Cetakan Maktab al Islami, Beirut, halaman 1/200.
- Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Saudi Arabia, internet. www.al-islam.com
- Kamus al Munawir, Edisi II, Cetakan Pustaka Progessif.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Apa saja sunnah-sunnah fitrah itu dan apa dalilnya ?

SUNNAH-SUNNAH FITRAH
Jawaban.
Yaitu sunnah-sunnah yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan hadits Aisyah Radhiyallahu anha. Adapun hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu : mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku" [Hadits Riwayat Bukhari 5550, 5552, 5939. Muslim 257. Abu Dawud 4198. Tirmidzi 2756 dan ini lafalnya. Nasa'i10. Ibnu Majah 292]

Adapun hadits Aisyah, yaitu dari jalan Zakariya bin Abu Zaidah dan Mush'ab bin Abu Syaibah dari Thalq bin Habib dari Abu Zubair dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu : memotong kumis, membiarkan jenggot, bersiwak (gosok gigi), memasukkan air ke dalam hidung (ketika berwudhu), memotong kuku, membasuh ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, beristinja' (dengan menggunakan air)"

Zakaria berkata, "Mus'ab berkata, Aku lupa perkara yang kesepuluh. Kalau tidak salah adalah berkumur". [Hadits Riwayat Ahmad VI/137. Muslim 261. Nasa'i 5040. dan Tirmidzi 2757]

Pertanyaan.
Adakah dalil yang menjelaskan tentang batasan-batasan waktu dalam- memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan ? Tolong jelaskan berserta dalilnya !

Jawaban.
Semua dilakukan setiap pekan berdasarkan hadits riwayat Al-Baghawi di dalam Musnad-nya [Al-Baghawi] dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash Radhiyallahu anhu.

Artinya : Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memotong kuku dan kumisnya pada setiap hari jumat

Dan makruh hukumnya bila membiarkannya (tidak dipotong) lebih dari 40 (empat puluh) hari berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata.

Artinya : Kami telah diberi tempo dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan jangan sampai dibiarkan lebih dari empat puluh malam" [Hadits Riwayat Muslim 258 dan Ibnu Majah 295]

Sementara Ahmad III/122, Tirmidzi 2759 dan Abu Dawud 4199, meriwayatkan dengan lafal.

Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberi tempo kepada kami

[Disalin dari kitab Al-Asilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syariyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 05/I/Dzulqa'adah 1424H -2003M]

Senin, 26 April 2010

MEMAHAMI IBADAH YANG BENAR

Manusia diciptakan untuk tujuan ibadah, maka manusia harus tahu apa itu ibadah karena ia merupakan tujuan dari hidupnya, dengan mengetahuinya maka manusia bisa merealisasikannya, mana mungkin merealisasikan sesuatu tanpa mengetahuinya.

Definisi Ibadah

Dari segi bahasa ibadah berarti ketundukan dan kepasrahan, dikatakan thariq muabbad yang berarti jalan yang ditundukkan, yakni bisa dilalui dengan baik karena sebelumnya sudah ditangani sedemikian rupa sehingga ia nyaman bagi orang-orang yang melewatinya.

Dari segi istilah ibadah adalah ketundukan mutlak kepada Allah swt melalui lisan para rasulNya. Ada yang mendefinisikan, ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala apa yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun batin. Definisi ini milik Imam Ibnu Taimiyah dan definisi ini adalah yang terbaik dan terlengkap.

Dari definisi di atas kita mengetahui bahwa cakupan ibadah adalah luas, mencakup seluruh jiwa dan tubuh manusia. Ada ibadah qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), raja` (berharap), mahabbah (cinta) dan sebagainya. Ada ibadah fisik seperti shalat, jihad, haji dan sebagainya. Ada ibadah hartawiah seperti zakat, sedekah dan sebagainya. Dari sisi lain ibadah juga melingkupi segala sisi kehidupan manusia dan seluruh aktifitas hariannya. Tidak ada satu sisi hidup atau tidak ada satu aktifitas manusia kecuali ia tersangkut sisi ibadah. Prinsipnya, hidup adalah ibadah.

Prinsip dasar ibadah

Prinsipnya adalah tauqifiyah, artinya sebuah perbuatan atau perkataan hanya bisa digolongkan sebagai ibadah jika ia memiliki dasar dari al-Qur`an dan sunnah. Apa yang tidak memiliki dasar berarti bukan ibadah. Dalam perkara ibadah yang kita cari adalah dasar yang menetapkannya sebagai ibadah, atau dengan bahasa lain, dalil yang memerintahkannya. Ada, berarti ia dilakukan, tidak ada, berarti harus menahan diri, karena kita tidak lebih tahu dan tidak boleh merasa lebih tahu daripada Allah dan rasulNya.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa dasar perintah kami maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menetapkan bahwa setiap amal ibadah harus memiliki dasar izin dari peletak syariat, jika tidak maka ia tidak diterima. Yang menyatakan demikian bukan siapa-siapa melainkan Rasulullah saw. Hadits ini adalah pedang tajam yang memilah amal perbuatan, mana yang merupakan ibadah dan mana yang bukan, dari sini maka tidak sedikit manusia, khusunya ahli bid’ah, yang alergi dengan hadits ini, berbeda dengan muslim sunnni yang meniti jalan sunnah Rasulullah saw, dia meletakkan hadits ini di depan kedua matanya sebagai pijakan beribadah sehingga tidak terjatuh ke dalam bid’ah yang sesat.

Manhaj lurus dalam ibadah

Sikap yang lurus dalam ibadah adalah tawazun atau tawassuth, sikap tengah dan seimbang, tidak ghuluw (berlebih-lebihan) dan tidak pula taqshir (meremehkan), tidak ekstrim keras dan tidak ekstrim longgar. Manhaj lurus ini ditetapkan oleh beberapa dalil.

Firman Allah, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud: 112). FirmanNya, “Tetaplah kamu pada jalan yang benar.” Ini adalah makna keteguhan atau istiqomah di atas jalan yang lurus dalam melaksanakan ibadah dengan mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak lebih, kurang berarti ekstrim longgar, lebih berarti ekstrim keras, keduanya sama-sama tercela. Dan firmanNya, “Dan jangan melampaui batas.” Merupakan larangan terhadap sikap berlebih-lebihan, memaksakan kehendak dan mengada-ada. Ini juga tercela.

Pada saat Nabi saw mendengar sebagian sahabat mempunyai kecenderungan kepada sikap berlebih-lebihan, ada yang berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus dan tidak berbuka.” Ada yang berkata, “Saya akan shalat terus menerus tanpa tidur.” Ada yang berkata, “Saya tidak akan menikah.” Maka beliau segera meluruskan sikap ini dengan mengembalikan mereka kepada sikap seimbang dan tengah yang terpuji, beliau bersabda,

أَمَّا أَنَا فَأصُوْمُ وَأُفْرِطُوْ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النَّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Adapun saya maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur dan saya menikah. Barangsiapa tidak menyukai sunnahku maka dia bukan bagian dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Pilar-pilar ibadah

Ibadah dibangun di atas tiga pilar, hubb (cinta), khauf (takut) dan raja` (harapan). Hubb dibarengi dengan khudhu’ (pasrah, rendah diri), sedangkan khauf diiringi dengan raja`.

Ketiga pilar ini harus terkumpul pada setiap ibadah, ketika pelaku ibadah melaksanakan ibadah maka ibadahnya harus didasari oleh hubb kepada peletaknya dan kepada ibadah itu sendiri, hal ini membuatnya rela melaksanakannya dan beristiqamah di atasnya, ditambah dengan sikap khauf yang teriringi oleh sikap raja’, takut ibadahnya belum sempurna sehingga ia tidak diterima, pada saat yang sama dia juga berharap ia diterima.

Allah Ta’ala berfirman tentang hubb pada hamba-hambaNya yang beriman, “Dan Dia menyintai mereka dan mereka menyintaiNya.” (Al-Maidah: 54).

Dia berfirman menyifati para Nabi saw dan rasul yang mulia, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” (Al-Anbiya`: 90).

Sebagain salaf berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan hubb saja maka dia adalah zindiq, siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja` saja maka dia murji` dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan khauf saja maka dia haruri. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan hubb, raja dan khauf sekaligus maka dia mukmin muwahhid.” Zindiq adalah orang munafik, orang sesat anti Tuhan. Murji` adalah orang Murji`ah, kelompok yang meyakini amal perbuatan bukan termasuk iman. Haruri adalah orang Khawarij, kelompok yang meyakini mukmin pelaku dosa adalah kafir. Wallahu a'lam.

Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah

Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadah tersebut sah. Seseorang yang hendak sholat tentu akan berwudhu terlebih dahulu, karena suci adalah syarat sah sholat. Begitu pula ibadah yang lain seperti haji, puasa dan zakat juga memiliki rukun-rukun dan syarat yang tidak boleh tidak harus dipenuhi. Segala sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu yang lain disebut syarat. Lalu bagaimana pula dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh? Tidak diragukan lagi bahwa syahadat adalah setinggi-tingginya derajat keimanan dan rukun islam yang paling utama. Di sana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ucapkan dianggap sah.
Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki delapan syarat:
1. Ilmu
Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari kalimat Laa Ilaaha Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq melainkan Alloh Ta’ala.
2. Yakin
Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai cobaan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat: 15)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari balik dinding ini dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira untuknya bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)

3. Menerima
Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi Muhammad dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’.” (As Shoffat: 35-36)
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir, tidak menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang berhak disembah dan diibadahi.
4. Tunduk
Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh berfirman, “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)
Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaranku.” (HR. Thabrani)
5. Jujur
Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan neraka untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik ditolak oleh Alloh karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.’ Dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al Munafiqun: 1)
6. Ikhlas
Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada selain-Nya. Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh mengharamkan bagi neraka menyentuh orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illalloh karena semata-mata mencari wajah Alloh.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
7. Cinta
Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya pasti akan merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana kebenciannya jika dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.
Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho disembah/diibadahi. Alloh berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqoroh: 256)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh dan mengingkari sesembahan selain Alloh, haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya adalah terserah kepada Alloh Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim)
Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali jika sekedar dihafalkan, tanpa diamalkan. apakah kita sudah mengevaluasi syahadat kita? Sudahkah terpenuhi delapan syarat ini dalam syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum terlambat. Berbenahlah! Semoga kita bertemu dengan Alloh sebagai seorang yang bertauhid, bukan sebagai seorang musyrik. Wal ‘iyaadzu billah

Azan dan Iqomah di Telinga Bayi

Azan dan Iqomah di Telinga Bayi
Sepanjang pemeriksaan kami, ada lima hadits yang menyebutkan masalah ini, berikut penjelasannya:
1. Hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ
“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali -seperti azan shalat- tatkala beliau dilahirkan oleh Fathimah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath-Thoyalisy (970), Abu Daud (5105), At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al-Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘anhu-.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’aib dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz:
أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رضي الله عنهما حِيْنَ وُلِدَا وَأَمَرَ بِهِ
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu ‘anhuma- tatkala keduanya lahir, dan beliau memerintahkan hal tersebut”.
Maka dari jalan ini kita bisa melihat bahwa Hammad bin Syu’aib menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury dengan menambah dua lafadz; “dan Al-Husain” dan “beliau memerintahkan hal tersebut(1)”.
Akan tetapi jalan Hammad -termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’aib At-Taimy, Abu Syu’aib Al-Hummany …, ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3)
Kita kembali ke jalan Sufyan Ats-Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. ‘Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225).
Berkaca dari uraian di atas, kita tidak ragu untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sangat lemah (arab: dho’ifun Jiddan).

2. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍ يَوْمَ وُلِدَ, فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan. Beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (8620) -dan beliau melemahkan hadits ini- dari jalan Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif dari Al-Qosim bin Muthib dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu ‘Abbas.
Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta”".
3. Hadits Al-Husain bin ‘Ali -radhiyallahu ‘anhuma-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ, فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى, لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu dia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang mengganggu anak kecil) tidak akan membahayakan dirinya”.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ab (8619), Abu Ya’la (678), dan Ibnu As-Sunny dalam ‘Amalul Yaum (623) dari jalan Yahya ibnul ‘Ala` Ar-Rozy dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin ‘Abdillah dari Al-Husain bin ‘Ali.
Hadits ini bisa dihukumi sebagai hadits yang palsu karena adanya dua orang pendusta di dalamnya:
1. Yahya Ibnul ‘Ala`. Imam Al-Bukhary, An-Nasa`i, dan Ad-Daraquthny berkata, “Dia ditinggalkan (arab: matra ditinggalkan (arab: matruk)”. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah pendusta, sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (7/206-207) karya Adz-Dzahaby dan Al-Kamil (7/198) karya Ibnu ‘Ady, dan mereka berdua menyebutkan hadits ini dalam jejeran hadits-hadits yang diingkari atas Yahya ibnul ‘Ala`.
2. Marwan bin Salim Al-Jazary. An-Nasa`i berkata, “Matrukul hadits”, Imam Ahmad, Al-Bukhary, dan selainnya berkata, “Mungkarul hadits”, dan Abu ‘Arubah Al-Harrony berkata, “Dia sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (6/397-399)
4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ وُلِدَا
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu ‘anhuma- tatkala mereka berdua dilahirkan”.
Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Hafsh Al-’Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa-apanya, dia sering berdusta dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210)
5. Hadits Ummul Fadhl bintul Harits Al-Hilaliyah -radhiyallahu ‘anha-.
Dalam hadits yang agak panjang, beliau bercerita bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda kepadanya ketika beliau sedang hamil:
فَإِذَا وَضَعْتِيْهِ فَأْتِنِي بِهِ. قَالَتْ: فَلَمَّا وَضَعْتُهُ, أَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“Jika kamu telah melahirkan maka bawalah bayimu kepadaku”. Dia berkata, “Maka ketika saya telah melahirkan, saya membawanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya …”.
Al-Haitsmy berkata dalam Al-Majma’ (5/187), “Diriwayatkan oleh Ath-Thobrany dalam Al-Ausath (4), dan di dalam sanadnya ada Ahmad bin Rosyid Al-Hilaly. Dia tertuduh telah memalsukan hadits ini”.
Sebagai kesimpulan kami katakan bahwa semua hadits-hadits yang menerangkan disyari’atkannya adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqomah di telinga kirinya adalah hadits-hadits yang yang sangat lemah dan tidak boleh diamalkan, wallahu A’lam.
_________
(1) Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya mengazankan bayi yang baru lahir, karena asal dalam perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah bermakna wajib.
(2) Ini termasuk jarh (kritikan) yang sangat keras tapi dengan penggunaan lafadz yang halus, dan ini adalah kebiasaan Imam Al-Bukhary -rahimahullah-. Imam Al-Bukhary menggunakan lafadz ini untuk rowi-rowi yang ditinggalkan haditsnya. Lihat Fathul Mughits (1/372)
(3) Lihat kritikan lain terhadapnya dalam Al-Kamil (2/242-243) karya Ibnu ‘Ady
(4) Al-Mu’jamul Ausath (9/102/9250)

Makarimul akhlak

Makarimul akhlak(kepribadian yang mulia) merupakan sifat para nabi, orang shiddiq dan shalih. Sedangkan akhlak yang buruk adalah racun yang membawa pemiliknya ke jalan syaitan dan penyakit yang menghancurkan kebahagian umat manusia. Oleh karena itu Allah Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam untuk menyempurnakan akhlak yang luhur yang dimiliki umat manusia. Beliau membawa akhlak yang agung bersumber dari wahyu Ilahi untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.“ (QS. Al Qalam: 4)
Hal ini ditafsirkan oleh Aisyah radhiallahu’anha ketika ditanya tentang akhlak beliau shallallahu’alaihi wassalam dalam pernyataannya:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنُ
“Akhlak beliau adalah Al Qur’an.“[1]
Demikianlah akhlak yang mulia telah menjadi salah satu rukun kenabian shallallahu’alaihi wassalam .
Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Aku hanya diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak.“
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Al Adaab Al Mufraad hal 42, Ahmad 2/381, Al Hakim 2/613, Ibnu Saad dalam Thabaqaatul Kubra (1/192), Al Qudhaa’iy dalam Musnad Asysyihaab No.1165 dan Al Kharaaithiy dalam Makarimul Akhlak Wa Ma’aaliha hal 2. dari jalan periwayatan Muhammad bin Ajlaan dari Al Qa’qaa’ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu’alaihi wassalam
Sanad ini hasan. Hadits ini dishahihkan Al Haakim dan beliau berkata: “Sesuai dengan syarat Muslim” demikian juga Adz Dzahabiy menyetujui ucapan Al Hakim ini, akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlaan dikeluarkan Imam Muslim dalam Mutaba’ah (untuk penguat saja).
Hadits ini juga memiliki syahid (jalan periwayatan dari sahabat yang lain) dalam Muwatha’ Imam Malik (2/904) secara balagh dengan lafadz:
أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya telah sampai kepadaku (balagh) bahwa Rasulullah bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak.”
Demikian juga dikuatkan oleh hadits Zaid bin Aslam yang mursal dan hadits Jaabir bin Abdillah yang lemah. Sehingga Syaikh Saalim bin Ied Al Hilaaliy menyatakan hadits ini shahih dengan syahid-syahid-nya.[2]
Syarah Hadits
Makarimul akhlak (akhlak yang mulia) jika menjadi sifat seseorang bermakna satu ungkapan yang mencakup sifat dan perbuatan luhur (terpuji) yang tampak dalam budi pekerti dan pergaulannya. Akhlak yang mulia ini adalah tonggak keutuhan dan kejayaan satu umat, sebagaimana disampaikan oleh seorang penyair yang bernama Ahmad Syauqiy dalam pernyataannya:
Umat itu tergantung akhlak yang tersisa padanya, jika akhlak tersebut lenyap maka lenyaplah mereka
Akhlak mulia memiliki pengaruh dalam tegak dan hancurnya satu masyarakat karena akhlak mulia adalah dasar ditegakkannya perintah Allah Ta’ala dalam jiwa manusia. Jika jiwa memiliki akhlak dan perilaku mulia maka tidak diragukan dia akan mengagungkan syiar-syiar Allah dan komitmen dengan manhaj agamanya. Sebagaimana Allah berfirman:
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.“ (QS. Al Hajj:32)
Akhlak mulia menjadi salah satu rukun ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam sehingga sudah semestinya diwujudkan dalam jiwa seorang muslim.
Kedudukan yang tinggi ini telah dijelaskan Allah dalam ayat-ayat-Nya agar manusia dapat istiqamah di atas akhlak mulia tersebut. Allah berfirman:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.“ (QS. Al Baqarah:187).
وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebahagian ancaman, agar mereka bertaqwa.” (QS. Thaha:113)
Demikian juga firman-Nya:
قُرْءاَناً عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa.“ (QS. Az Zumaar :28)
Oleh karena itulah para Rasul senantiasa mengajak kaumnya untuk mewujudkan akhlak yang mulia .
Lihatlah Nabi Nuh ‘alaihis salam, beliau mengajak kaumnya sebagaimana dikisahkan Allah dalam firmanNya:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ نُوحٌ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa?Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.“(Asy Syu’ara: 105-110)
Demikian juga Nabi Hud ‘alaihis salam mengajak kaumnya berakhlak mulia
كَذَّبَتْ عَادٌ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ هُودٌ أَلاَ تَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَا
تَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ ءَايَةً تَعْبَثُونَ وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ وَإِذَا بَطَشْتُم
بَطَشْتُمْ جَبَّارِينَ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُم بِمَا تَعْمَلُونَ أَمَدَّكُم
بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Kaum Aad telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.
Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia). Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan bertaqwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air, sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab yang besar.” (QS. Asy Syu’ara:123-135)
Nabi Shalih ‘alaihissalam pun mengajak kaumnya kepada akhlak yang mulia :
كَذَّبَتْ ثَمُودُ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ صَالِحٌ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul. Ketika saudara mereka, Shaleh, berkata kapada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.“ (QS. 26:141-147)
Lihat kembali kisah nabi Luth ‘alaihis salam :
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلاَ تَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَا لَمِينَ أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَاخَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ
“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul,ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan yang (di utus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang di jadikan oleh Rabbmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. 26:160-166)
Nabi Syu’aib ‘alaihis salam :
كَذَّبَ أَصْحَابُ لْئَيْكَةِ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ شُعَيْبُ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِىَ إِلاَّعَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ وَلاَتَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ وَاتَّقُوا الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالْجِبِلَّةَ اْلأَوَّلِينَ
“Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul; ketika Syu’aib berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertaqwa?, Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; dan bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.” (QS. 26:176-184)
Jelaslah dakwah mereka mengajak manusia bertakwa kepada Allah, dan ketakwaan adalah sumber utama akhlak mulia, darinyalah mengalir kemulian akhlak dalam kehidupan seorang mukmin. Dengan demikian akhlak mulia adalah ketakwaan yang dapat dilihat seorang mukmin sebagai satu kebaikan dan barokah bagi masyarakat.
Hal ini dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam diatas. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan salah satu tugas penting beliau adalah mengokohkan pondasi dasar akhlak mulia, menyempurnakan dan menjelaskan ketinggiannya. Bukankah hal ini menunjukkan peran penting akhlak dalam membangun kejayaan kaum muslimin. Untuk lebih jelasnya marilah kita melihat tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang telah Allah tetapkan dalam beberapa ayat dibawah ini:
- Firman Allah Ta’ala:
كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.“ (QS. Al Baqarah:151).
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada hambaNya yang mukmin karunia nikmat yang Allah limpahkan kepada mereka, yaitu: diutusnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam untuk membacakan ayat-ayatNya dan men-tazkiyah. Tazkiyah bermakna mensucikan mereka dari kejelekan akhlak, kekotoran jiwa dan perbuatan jahiliyah”. [3]
- Firman Allah Ta’ala :
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.“ (QS. Al ‘Imron:164)
serta firmanNya:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah.Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.“ (QS. Al Jumu’ah: 2)
Tazkiyah merupakan salah satu tugas utama dan rukun dakwah para Rasul. Tazkiyah ini tidak lain adalah dengan membina umat untuk berakhlak baik dan meninggalkan akhlak yang buruk, beristiqamah dan berpegang teguh kepada ketinggian akhlak tersebut.
Demikian pentingnya akhlak dalam kehidupan masyarakat islam sampai nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjadikannya sebagai salah satu rukun dakwahnya, sebagaimana diberitakan Allah dalam firmanNya:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَالْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلَ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَالسَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا ُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ رَبَّنَا َابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاًمِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَالْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdo’a):”Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (QS. Al Baqarah: 127-129)
Demikianlah Nabi Ibrahim mendidik kaum dan anak keturunannya untuk berakhlak mulia, sehingga ajaran beliau ini masih tersisa pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam . ini tampak jelas karena Rasulullah diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia yang dimiliki bangsa Arab waktu itu. Tentunya dengan menghilangkan seluruh akhlak yang buruk dari kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Akhlak yang mulia yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sangat lengkap dan bersumber dari wahyu. Akhlak yang meliputi akhlak kepada Allah dan kepada makhluknya. Akhlak kepada Allah yang meliputi keimanan dan tauhid serta beribadah kepadaNya tanpa berbuat syirik dan maksiat sedikitpun dan berakhlak dalam berhubungan sesama makhluk Allah dalam pergaulan pribadi atau masyarakat. Inilah inti ajaran islam yang dibawa para rasul.
Wahai para da’i yang ingin membangun kejayaan umat ini janganlah kalian melupakan sisi penting ini. Melupakan tazkiyah (tarbiyah) pembentukan pribadi muslim diatas akhlak yang mulia yang bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah, bersumber dari keimanan dan tauhid yang benar. Tapi ingatlah hal ini tidak sempurna tanpa melakukan tashfiyah (pemurnian agama dari ajaran selainnya) dahulu. Ikutilah dakwahnya para rasul dengan benar dan sempurna, mudah-mudahan Allah mengangkat derajat dan mengembalikan kejayaan umat ini kembali.
Faedah hadits
Diantara faedah yang dapat diambil dari hadits ini adalah:
1. Islam adalah agama yang menghilangkan kebatilan dan mengokohkan kebenaran. Hal ini tampak jelas pada sabda beliau dalam hadits ini yaitu لِأُتَمِّمَ . sehingga Islam tetap mengokohkan kemulian akhlak yang dimiliki bangsa Arab dan menyempurnakannya dengan menghilangkan keburukan dan kejelekan akhlak mereka. Dengan demikian jelaslah slogan yang menyatakan Islam adalah revolusi atau revolusi islam adalah kebatilan, karena revolusi mesti ditandai dengan penghancuran baik yang benar atau yang salah.
2. Bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah termasuk bangsa yang paling berakhlak mulia, karena mereka memiliki sebagian akhlak mulia yang mereka warisi dari ajaran nabi Ibrahim ‘alaihis salam akana tetapi mereka sesat lantaran kekufuran mereka. Lalu Allah utus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menyempurnakan kemulian dan keindahan akhlak dengan menjelaskan kesesatan mereka dan ketetapan syariat dalam hal tersebut.
3. Akhlak yang mulia memiliki kedudukan dan urgensi sangat penting dalam membangun masyarakat islam
4. Akhlak yang mulia merupakan tonggak kejayaan satu bangsa atau umat.
5. Akhlak yang mulia merupakan salah satu rukun dakwah para Rasul
6. Akhlak yang mulia meliputi akhlak terhadap Allah dan makhluknya.
________________________________________
[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Muslim, Syarah Shahih Muslim Lin Nawawi (6/25) , Abu Daud dalam Sunan-nya(2/40), An Nasaa’I dalam Sunan-nya (3/199), Ad Darimiy dalam Sunan-nya (1/345).
[2] Takhrij ini disarikan dari risalah “Makarimul Akhlak” karya Syaikh Saalim bin Ied Al Hilali, hal 14-15.
[3] Tafsir Ibnu Katsir, 1/186.

Zakat Fitrah

Zakat fithrah merupakan zakat yang disyariatkan didalam Islam berupa satu sha’ dari makanan yang dikeluarkan seorang muslim di akhir Ramadhan, dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah Ta’ala dalam berbuka dari Ramadhan dan penyempurnaannya. Oleh karena itu dinamakan sedekah fithrah atau zakat fithrah (Lihat Fatawa Ramadhan 2:901).

Hukum Zakat Fithrah
Zakat fithrah merupakan salah satu kewajiban yang diwajibkan kepada kaum muslim dan wajib dikeluarkan oleh seorang muslim baik laki-laki atau perempuan, besar, kecil, budak atau merdeka, hal ini berdasarkan beberapa dalil:
1. Hadits Ibnu ‘Umar Radiallahu ‘anhu:
beliau berkata “Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fithrah dari bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba merdeka laki-laki, perempuan, kecil maupun dewasa dari orang Islam” (HR. Al Bukhari dan Muslim)


2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry Radiallahu ‘anhu
“Kami dahulu pada zaman Nabi memberikan (zakat fithrah) satu sha’ dari makanan atau satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atau kismis (anggur kering)” (HR. Bukhari).
3. Hadits Ibnu Abbas Radiallahu ‘anhu :”Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fithrah itu sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan ucapan yang kotor dan sebagai pemberi makan orang yang miskin …” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan Hakim)

4. Perkataan Sa’id bin Musayyib dan ‘Umar bin Abdul Aziz Radiallahu ‘anhuma dalam menafsirkan Firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS Al ‘Ala :14) mereka menafsirkan dengan “Zakat Fithrah”.

5. Ijma’ yang dinukil Ibnu Qudamah dari Ibnul Mundzir , beliau berkata : “Telah bersepakat setiap ahli ilmu bahwa zakat fithrah adalah wajib” (Lihat Al-Mughny 3:80)

Hikmah Zakat Fithrah
1.Dia merupakan zakat untuk tubuh yang telah diberi kehidupan pada tahun tersebut.

2.Merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah dilimpahkan kepada orang yang berpuasa.

3.Menjadi makanan bagi fakir miskin dan pembersih bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang mengurangi kesempurnaannya pada bulan Ramadhan (Lihat Fatawa Ramadhan 2:909-911)

4.Mengobati penyakit hati, diri pribadi dan sosial seperti : Bakhil, egois, rakus, tamak, iri, cinta dunia, bahkan permusuhan, penjarahan, kerusuhan, profokasi dan lain-lain.

5.Memberikan jaminan kecukupan bagi fakir miskin minimal dihari itu dari kesusahan dan meminta-minta, menambah kemakmuran sehingga teratasi hak-haknya.

6.Mewujudkan keamanan masyarakat yang rukun, harmonis, saling menolong dan mencukupi dalam kebajikan sehingga terwujud cinta dan iman yang hakiki, maka sukseslah hidup/ pembangunan sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf 17:96) (Waznin Mahfudh)

Pembayaran Zakat Fithrah Dan Ukurannnya
Diwajibkan bagi semua golongan yang disebut dalam hadits-hadits diatas untuk membayar zakat fithrah (anak-anak, orang dewasa, laki-laki, perempuan, orang merdeka maupun budak). Yaitu semua orang Islam yang mampu untuk membayar.

Adapun ukuran zakat fithrah adalah satu sha’ dari makan pokok yang setara kurang lebih 3 Kg beras, demikian pendapat syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz Rahimahullah (lihat fatwa Ramadhan 2:925-926).
Jenis Zakat Dan Yang Berhak Menerimanya
Adapun jenis-jenis makanan yang boleh dipergunakan untuk membayar zakat fithrah ialah makanan pokok penduduk tersebut seperti : Kurma, gandum, beras, kismis, keju kering atau lainnya yang termasuk makanan pokok manusia.
Dan Nabi Sallalahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ dari kurma atau gandum karena itulah makanan pokok penduduk Madinah, dan seandainya itu bukan makananan pokoknya tentu beliau tidak membebani mereka untuk mengeluarkan zakat dari makanan yang bukan makanan pokok mereka.
Hal ini disandarkan kepada perkataan Abu Sai’d Al-Khudri radiallahu ‘anhu:
“Dan makanan kami adalah gandum, kismis, aqith (susu kering/ keju) dan kurma” (HR. Bukhari dan Muslim)
Waktu Pembayaran Zakat Fithrah
Waktu wajib membayar zakat fithrah ialah ketika terbenamnya matahari pada malam hari raya. Maka barang siapa yang memiliki kemampuan untuk membayarnya pada waktu itu, maka ia wajib melaksanakannya. Dengan demikian bila seseorang lahir setelah terbenamnya matahari, sekalipun beberapa menit maka dia tidak wajib dibayarkan zakat fithrahnya dan jika ia lahir sebelum terbenamnya matahari maka wajib dibayarkan zakat fithrihnya.

Akan tetapi waktu yang paling utama untuk pembayaran zakat fithrah adalah setelah terbit fajar sebelum shalat ‘Idul fitri berlangsung. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu :“Bahwasanya Nabi Sallalahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan membayar zakat fithrah sebelum orang-orang pergi untuk shalat ‘Ied” (HR. Muslim dan lainnya).

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radiallahu ‘anhu :“…Maka barangsiapa yang menunaikan (zakat fitrah) sebelum shalat (‘Ied) maka itulah zakat yang diterima dan siapa yang menunaikannya setelah shalat (‘Ied) maka termasuk sedekah biasa” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan Hakim menshahihkannya demikian pula Syekh Al Albani menghasankannya dalam Al-Irwa’ no. 843)
Dan dibolehkan membayar zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata :“Adalah Ibnu ‘Umar membayarkan zakat fithrah untuk anak-anak dan orang dewasa, dan jika beliau membayarkan zakat fithrah anakku, beliau berikan kepada yang berhak menerimanya. Dan mereka membayar zakat fithrah itu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied” (HR. Bukhari)

Golongan Yang Berhak Menerima Zakat Fithrah Dan Tempat Mengeluarkannya
Golongan yang berhak menerima zakat fithrih adalah fakir miskin sebagaimana yang disebutkan dalam hadits terdahulu. Zakat fithrih itu dibayarkan kepada beberapa orang fakir atau kepada satu orang miskin saja, karena Nabi Sallalahu ‘Alaihi Wasallam hanya menentukan jumlah yang dibayarkan saja dan tidak menentukan jumlah orang yang menerimanya.

Sebagian ahli fiqhi berpendapat zakat fithrah juga untuk fakir, miskin, amil, muallaf, budak yang ingin merdeka, orang yang berutang, pejuang agama Allah Ta’ala, musafir yang butuh bekal. Sebagaimana yang disebutkan didalam surat At Taubah ayat 60 (Al-Mughny 4:314)
Namun yang rajih (benar) -Wallahu ‘Alam- bahwa zakat fithrah hanya diperuntukkan kepada fakir miskin saja sesuai dengan hadits-hadits dari Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam. Sedang sadaqah dalam surah At Taubah ayat 60 adalah untuk zakat/ shadaqah yang umum/ maal (Lihat Majmuatul Fatawa 13:42) .

Adapun tempat mengeluarkan zakat fithrih adalah di daerah tempat sendiri, kecuali bila orang-orang fakir dan miskin negeri tersebut telah terpenuhi sedang di daerah lain banyak fakir miskin atau yang lebih membutuhkan, maka boleh dipindah ke daerah tersebut.

Mengenai pembayaran zakat fithrah yang biasa dilakukan orang di zaman sekarang yaitu dengan menggantinya dengan uang yang senilai dengan harga makanan tersebut, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi yang mana mereka membayar zakat fithrahWasallam dan para shahabatnya dengan satu sha’ makanan tidak dengan yang lain dan hal ini juga menyalahi apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintah dari kami atasnya maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim). Wallahu a’lam