Kamis, 25 Maret 2010

Ruang Lingkup Pengajaran Tarikh

Tujuan mengajarkan Tarikhul Islam atau yang lebih dikenal dengan Sirah Nabawiyah bukan sekedar untuk mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah yang mengungkapkan kisah-kisah atau kasus yang menarik saja, karena itu tidak sepantutnya kita menganggap bahwa pengajaran Sirah Nabawiyah termasuk kajian sejarah pada umumnya. Diantara tujuan mendalami Sirah Nabawiyah dan mengajarkannya adalah agar setiap muslim memperoleh gambaran tentang hakekat Islam secara paripurna, yang tercermin dalam kehidupan nabi SAW, sesudah ia memahami secara konsepsional sebagai prinsip, kaidah dan hukum. Sirah nabawiyah hanya merupakan upaya aplikatif yang bertujuan memperjelas hakikat Islam secara utuh dalam keteladanannya yang tertinggi, Nabi Muhammad SAW.
Bila kita rinci, maka aspek sikap yang harus dimiliki oleh seorang siswa ketika mempelajari Tarikh adalah sebagai berikut :
1. Memahami pribadi Rasulullah SAW melalui celah-celah lehidupan dan kondisi-kondisi yang pernah dihadapi beliau, untuk menegaskan bahwa Rasululloh SAW hanya manusia biasa seperti khalayak, akan tetapi bimbingan dan wahyu Allah telah menjadikan beliau sebagai sosok teladan yang harus diikuti oleh manusia.
2. Agar manusia mendapatkan gambaran tentang figur ideal menyangkut seluruh aspek kehidupan yang utama untuk dijadikan pegangan dan pedoman contoh perilaku hidup mulia.
3. Agar manusia mendapatkan sesuatu yang dapat membantunya di dalam memahami Al Quran dan bersemangat memperoleh tujuan-tujuan hidupnya di bawah naungan Al Quran melalui keteladanan Rasulullah SAW dalam pengamalan Al Quran.
4. Melalui Sirah atau Tarikh seorang muslim dapat mengumpulkan sekian tsaqafah ( wawasan ) dan pengetahuan Islam yang bena, baik menyangkut akidah, hukum maupun akhlaq.
5. Agar setiap pendidik menemukan sosok figur hidup dalam mengimplementasikan pola-pola pembinaan umat dan dakwah. Adalah Rasulullah SAW seorang da’i, pemberi nasehat dan pendidik yang baik, yang tidak segan-segan mencari solusi dan cara-cara baru ( tentunya dengan bimbingan wahyu ) dalam menyelesaikan problematika umat dan upaya mengentaskan kejahiliyahan mereka tentang Islam.
Sumber-sumber Pengajaran Sirah atau Tarikhul Islam
Secara umum dapat disebutkan di sini bahwa sumber dan rujukan Sirah Nabawiyah ada tiga: Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabawiyah yang shahih, dan kitab-kitab sirah.
a. Al Quran
Kitab Allah merupakan rujukan pertama untuk memahami sifat-sifat umum Rasulullah saw. dan mengenal tahapan-tahapan umum sirah-nya yang mulia ini. Ia mengemukakan Sirah Nabawiyah dengan menggunakan salah satu dari uslub (metode) berikut. Pertama, mengemukakan sebagian kejadian dari kehidupan dan sirah-nya, seperti ayat-ayat yang menjelaskan tentang Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Hunain, serta ayat-ayat yang mengisahkan perkawinan dengan Zainab binti Jahsyi. Kedua, mengomentari kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk menjawab masalah-masalah yang timbul, mengungkapkan masalah yang belum jelas, atau untuk menarik perhatian kaum Muslimin kepada pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalamnya. Semua itu berkaitan dengan salah satu aspek dari sirah-nya atau permasalahannya. Dengan demikian, hal itu telah menjelaskan banyak hal dari berbagai periode kehidupannya dan beragam urusan serta aktivitasnya.
Akan tetapi, pembicaraan Al-Qur’an semua itu hanya disampaikan secara terputus-putus. Betapapun beragamnya uslub Al-Qur’an dalam menjelaskan segi sirah-nya, hal itu tidak lebih dari sekedar penjelasan secara umum dan penyajian secara global dan sekilas tentang beberapa peristiwa dan berita. Demikianlah cara Al-Qur’an dalam menyajikan setiap kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu.
b.As Sunnah Ash Shahihah
Yakni apa yang terkandung di dalam kitab-kitab para imam hadits yang terkenal jujur dan amanah, seperti kitab-kitab yang enam, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Sumber kedua ini lebih luas dan lebih rinci, hanya saja belum tersusun secara urut dan sistematis dalam memberikan gambaran kehidupan Rasulullah saw. sejak lahir hingga wafat. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, sebagian besar kitab-kitab ini disusun haditsnya berdasarkan bab-bab fiqih atau sesuai dengan satuan pembahasan yang terkait dengan syariat Islam. Karena itu, hadits-hadits yang berkaitan dengan sirah-nya yang menjelaskan bagian dari kehidupannya terdapat pada berbagai tempat di antara semua bab yang ada. Kedua, para imam hadits, khususnya penghimpun Al-Kutub As-Sittah, ketika menghimpun hadits-hadits Rasulullah saw. tidak mencatat riwayat sirah-nya secara terpisah, tetapi hanya mencatat dali-dalil syariah secara umum yang diperlukan.
Di antara keistimewaan sumber kedua ini ialah bahwa sebagaian besar isinya diriwayatkan dengan sanad shahih yang bersambung kepada Rasulullah saw atau kepada para sahabat, yang kemudian diteruskan periwayatannya oleh para ulama hadits.
c.Kitab-kitab Sirah
Kajian-kajian sirah di masa lalu diambil dari riwayat-riwayat pada masa sahabat yang disampaikan secara turun-temurun tanpa ada yang memperhatikan untuk menyusun atau menghimpunnya dalam suatu kitab, kendatipun sudah ada beberapa orang yang memperhatikan secara khusus sirah Nabi saw dengan rincian-rinciannya. Barulah pada generasi tabi’in, sirah Rasulullah saw diterima dengan perhatian penuh perhatian. Banyak di antara mereka yang mulai menyusun data tentang Sirah Nabawiyah yang didapatkan dari lembaran-lembaran kertas. Di antara mereka ialah Urwah bin Zubair yang meninggal pada tahun 92 Hijriah, Aban bin Utsman (105 H), Syurahbil bin Sa’ad (123 H), Wahab bin Munabih (110 H), dan Ibnu Syihab Az-Zuhri (124 H). Setelah itu, muncul generasi penyusun sirah berikutnya. Tokoh generasi ini ialah Muhammad bin Ishaq (152 H). Selanjutnya disusul oleh generasi sesudahnya dengan tokoh Al-Waqidi (203 H) dan Muhammad bin Sa’ad, penyusun kitab Ath-Thaqat Al-Kubra (130 H). Ada pula kitab Sirah Nabawiyah yang dinisbatkan kepada Ibnu Hisyam, yang ada sekarang ini hanya merupakan duplikat dari Al-Maghazi-nya Ibnu Ishaq.
Ibnu Khalikan berkata, “Ibnu Hisyam adalah orang yang menghimpun sirah Rasulullah saw. dari Al-Maghazi dan As-Siar karangan Ibnu Ishaq. Ia telah menyempurnakan dan meringkasnya. Kitab inilah yang ada sekarang dan terkenal dengan Sirah Ibnu Hisyam.
Selanjutnya, lahirlah kitab-kitab Sirah Nabawiyah. Sebagiannya menyajikan secara menyeluruh, tetapi ada pula yang memperhatikan segi-segi tertentu, seprti Al-Asfahani di dalam kitabnya Dala’il An-Nubuwah, Tirmidzi di dalam kitabnya Asy-Syama’il, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.

Ruang Lingkup Pengajaran Akhlaq

Al-Khuluq ( bentuk mufrad/tunggal dari kata akhlaq ) berarti perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: “ Gambaran batin seseorang ". Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran :
 Gambaran zhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran zhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.
 Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatanperbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak.
Dan gambaran ini juga ada yang baik jika memang keluar dari akhlaq yang baik, dan ada pula yang buruk jika keluar dari akhlaq yang buruk. Inilah yang kemudian disebut dengan nama "khuluq" atau akhlaq. Jadi, khuluq atau akhlaq adalah gambaran batin yang telah ditetapkan pada seseorang. Dan wajib bagi setiap muslim untuk berperilaku dengan akhlaq yang mulia ini. Karena, sesuatu yang berharga dari tiap-tiap benda merupakan sesuatu yang baik dari benda tersebut, dan di antaranya adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal:
إياك وكرائم أموالهم ( رواه البخاري ومسلم )
”…dan hati-hatilah dari harta-harta mereka yang berharga…”, yakni ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkannya untuk mengambil zakat dari penduduk kota Yaman.
Maka, setiap orang harus berusaha agar hati atau gambaran batinnya menjadi mulia. Sehingga ia mencintai kemuliaan dan keberanian, juga mencintai sifat santun dan kesabaran. Ketika bertemu dengan sesama hendaknya ia menampakkan wajah yang berseri-seri, hati yang lapang, dan jiwa yang tenang. Dan semua sifat-sifat di atas merupakan bagian dari akhlaq yang mulia.
Telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
أكمل المؤمنين إيمانًا أحسنهم خلقًا (رواه ابو داوود )
“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaqnya”.
Maka, sudah sewajarnya jika pembicaraan ini selalu berada didepan mata seorang mukmin. Karena, jika seseorang mengetahui bahwa dia tidak akan bisa menjadi figur yang sempurna keimanannya kecuali dengan memperbaiki budi pekertinya, maka hal ini akan menjadi sebuah pendorong baginya untuk berperilaku dengan budi pekerti yang baik dan sifat-sifat yang tinggi mulia, serta ia akan meninggalkan perbuatan yang rendah dan hina.
Pendidikan Islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini. Al-Husain ibn Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad. Majelis-majelis ilmu pada masa itu, sebagaimana diceritakankan Imam adz-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh, dalam pendidikan Islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain. “Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.” Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib as-Syahid (w. 203 H.) dan lain-lain. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah muaddib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.
Penekanan pada aspek adab dan akhlak dalam pendidikan Islam dikarenakan dalam perspektif Islam, belajar ilmu untuk menghilangkan kebodohan, menegakkan agama penuntutnya, bukan demi dunia ataupun kesombongan apalagi popularitas sendiri. Tapi belajar ilmu dalam Islam dianggap sebagai bagian dari usaha mulia mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri. Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين ( متفق عليه )
Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”
Di sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam menilai, jujur, sportif, dan sejenisnya nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal, bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih awal.

Ruang Lingkup Pengajaran Aqidah

Kata “aqidah” diambil dari kata al-‘aqdu, yakni ikatan dan tarikan yang kuat. Ia juga berarti pemantapan, penetapan, kait-mengait, tempel-menempel, dan penguatan. Perjanjian dan penegasan sumpah juga disebut ‘aqdu. Jual-beli pun disebut ‘aqdu, karena ada keterikatan antara penjual dan pembeli dengan ‘aqdu (transaksi) yang mengikat. Termasuk juga sebutan ‘aqdu untuk kedua ujung baju, karena keduanya saling terikat. Juga termasuk sebutan ‘aqdu untuk ikatan kain sarung, karena diikat dengan mantap.
Secara umum istilah “aqidah” di dalam dipakai untuk menyebut keputusan pikiran yang mantap, benar maupun salah. Jika keputusan pikiran yang mantap itu benar, maka itulah yang disebut aqidah yang benar, seperti keyakinan umat Islam tentang ke-Esa-an Allah. Dan jika salah, maka itulah yang disebut aqidah yang batil, seperti keyakinan umat Nashrani bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum tuhan (trinitas). Istilah “aqidah” juga digunakan untuk menyebut kepercayaan yang mantap dan keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan. Yaitu apa-apa yang dipercayai oleh seseorang, diikat kuat oleh sanubarinya, dan dijadikannya sebagai madzhab atau agama yang dianutnya, tanpa melihat benar atau tidaknya.
Ruang lingkup pengajaran aqidah dalam Islam yaitu, kepercayaan yang mantap kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, qadar yang baik dan yang buruk, serta seluruh muatan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah berupa pokok-pokok agama, perintah-perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi Salafush Shalih (ijma’), dan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala dalam hal keputusan hukum, perintah, takdir, maupun syara’, serta ketundukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mematuhinya, menerima keputusan hukumnya dan mengikutinya.
Berdasarkan pengertian diatas, maka “aqidah” adalah sebutan bagi sebuah disiplin ilmu yang dipelajari dan meliputi aspek-aspek tauhid, iman, Islam, perkara-perkara ghaib, nubuwwat (kenabian), takdir, berita (kisah-kisah), pokok-pokok hukum yang qath’iy (pasti), dan masalah-masalah aqidah yang disepakati oleh generasi pendahulu yang shalih, wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri), serta hal-hal yang wajib dilakukan terhadap para sahabat dan ummul mukminin (istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan termasuk di dalamnya adalah penolakan terhadap orang-orang kafir, para Ahli bid’ah, orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu, dan seluruh agama, golongan, ataupun madzhab yang merusak, aliran yang sesat, serta sikap terhadap mereka, dan pokok-pokok bahasan aqidah lainnya.

Ruang lingkup Pengajaran Al Quran

Setiap orang tua mempunyai tanggungjawab mengajar Al Quran kepada anak-anaknya sejak dini. Langkah semacam ini memeberikan pengaruh yang cukup besar dalam menanamkan akidah pada jiwa anak. Dengan mempelajari Al Quran secara tidak langsung anak akan mengetahui dan meyakini bahwa hanyalah Islam yang benar dan agama yang Haq, meyakini dengan mantap sepenuh hati bahwa hanya Allah lah satu-satunya Tuhan Yang Paling Berhaq untuk disembah. Hal itu karena anak sudah melihat dengan mata kepala dalil-dalil qath’I akan kebenaran ajaran Tauhid dan akalnya diajak berfikir melalui kisah-kisah ataupun kejadian-kejadian yang mengajak nya untuk berfikir dan menentukan pilihan yang tepat.
Proses pengajaran Al Quran sejak dini pada anak-anak juga diharapkan untuk menanamkan makna-makna hakiki Al Quran ke dalam jiwa dan hati mereka. Disamping itu, secara perlahan-lahan akan tumbuh dan berkembang dalam jiwa mereka untuk mencintai Al Quran, sehingga hati mereka terikat pada segala apa yang tersurat dan tersirat dalam Al Quran.
Mengajarkan Al Quran pada anak-anak menurut Imam As Suyuthi merupakan dasar pendidikan Islam yang pertama yang harus mendapat nilai prioritas utama. Karena pada usia itu masih dalam keadaan fithrah dan merupakan masa yang paling mudah untuk mendapatkan cahaya hidayah dan hikmah yang terdapat di dalam Al Quran, sebelum hawa nafsu masuk dan mulai menggerogoti dan mengarahkan kepada kemaksiatan.
Ibnu Khaldun juga menegaskan, bagi orang tua yang mengajarkan Al Quran pada anak-anaknya merupakan salah satu bentuk syiar agama sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Metode ini merupakan tahap awal untuk ditindaklanjuti oleh para orang tua yang pada akhirnya anak akan merasakan nikmatnya iman yang kokoh dan akidah yang kuat berkat pemahaman dan interaksinya selama ini dengan Al Quran.

Ruang Lingkup Pengajaran Fikih

Manusia diciptakan untuk tujuan ibadah, maka manusia harus tahu apa itu ibadah karena ia merupakan tujuan dari hidupnya, dengan mengetahuinya maka manusia bisa merealisasikannya, mana mungkin merealisasikan sesuatu tanpa mengetahuinya.
Dari segi bahasa ibadah berarti ketundukan dan kepasrahan, dikatakan thariq muabbad yang berarti jalan yang ditundukkan, yakni bisa dilalui dengan baik karena sebelumnya sudah ditangani sedemikian rupa sehingga ia nyaman bagi orang-orang yang melewatinya.
Dari segi istilah ibadah adalah ketundukan mutlak kepada Allah swt melalui lisan para rasulNya. Ada yang mendefinisikan, ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala apa yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun batin. Definisi ini milik Imam Ibnu Taimiyah dan definisi ini adalah yang terbaik dan terlengkap.
Dari definisi di atas kita mengetahui bahwa cakupan ibadah adalah luas, mencakup seluruh jiwa dan tubuh manusia. Ada ibadah qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), raja` (berharap), mahabbah (cinta) dan sebagainya. Ada ibadah fisik seperti shalat, jihad, haji dan sebagainya. Ada ibadah maaliyah seperti zakat, sedekah dan sebagainya. Dari sisi lain ibadah juga melingkupi segala sisi kehidupan manusia dan seluruh aktifitas hariannya. Tidak ada satu sisi hidup atau tidak ada satu aktifitas manusia kecuali ia tersangkut sisi ibadah. Prinsipnya, hidup adalah ibadah.

Prinsip dasar ibadah
Prinsipnya adalah tauqifiyah, artinya sebuah perbuatan atau perkataan hanya bisa digolongkan sebagai ibadah jika ia memiliki dasar dari al-Qur`an dan sunnah. Apa yang tidak memiliki dasar berarti bukan ibadah. Dalam perkara ibadah yang kita cari adalah dasar yang menetapkannya sebagai ibadah, atau dengan bahasa lain, dalil yang memerintahkannya. Ada, berarti ia dilakukan, tidak ada, berarti harus menahan diri, karena kita tidak lebih tahu dan tidak boleh merasa lebih tahu daripada Allah dan rasulNya.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa dasar perintah kami maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menetapkan bahwa setiap amal ibadah harus memiliki dasar izin dari peletak syariat, jika tidak maka ia tidak diterima. Yang menyatakan demikian bukan siapa-siapa melainkan Rasulullah saw. Hadits ini adalah pedang tajam yang memilah amal perbuatan, mana yang merupakan ibadah dan mana yang bukan, dari sini maka tidak sedikit manusia, khususnya ahli bid’ah, yang alergi dengan hadits ini, berbeda dengan muslim sunnni yang meniti jalan sunnah Rasulullah saw, dia meletakkan hadits ini di depan kedua matanya sebagai pijakan beribadah sehingga tidak terjatuh ke dalam bid’ah yang sesat.
Pedoman dalam beribadah
Sikap yang lurus dalam ibadah adalah tawazun atau tawassuth, sikap tengah dan seimbang, tidak ghuluw (berlebih-lebihan) dan tidak pula taqshir (meremehkan), tidak ekstrim keras dan tidak ekstrim longgar. Manhaj lurus ini ditetapkan oleh beberapa dalil.
Firman Allah,
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud: 112).
FirmanNya, “Tetaplah kamu pada jalan yang benar.” Ini adalah makna keteguhan atau istiqomah di atas jalan yang lurus dalam melaksanakan ibadah dengan mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak lebih, kurang berarti ekstrim longgar, lebih berarti ekstrim keras, keduanya sama-sama tercela. Dan firmanNya, “Dan jangan melampaui batas.” Merupakan larangan terhadap sikap berlebih-lebihan, memaksakan kehendak dan mengada-ada. Ini juga tercela.
Pada saat Nabi saw mendengar sebagian sahabat mempunyai kecenderungan kepada sikap berlebih-lebihan, ada yang berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus dan tidak berbuka.” Ada yang berkata, “Saya akan shalat terus menerus tanpa tidur.” Ada yang berkata, “Saya tidak akan menikah.” Maka beliau segera meluruskan sikap ini dengan mengembalikan mereka kepada sikap seimbang dan tengah yang terpuji, beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَأصُوْمُ وَأُفْرِطُوْ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النَّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Adapun saya maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur dan saya menikah. Barangsiapa tidak menyukai sunnahku maka dia bukan bagian dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kapan amal perbuatan dianggap mengikuti tuntunan peletak syariat?
Jika ia sesuai dengannya dalam enam perkara: dasar, bilangan, ukuran, tatacara, waktu dan tempat.
o Sesuai dengan tuntunan syariat dalam dasar ibadah, yakni ibadah tersebut mempunyai dasar dari peletak syariat, bukan ibadah yang diada-adakan.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam bilangan, yakni jika bilangan suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Mengurangi atau melebihi berarti menentang peletak syariat. Misalnya jumlah rakaat shalat, jumlah hari puasa wajib, jumlah thawaf di Ka’bah dan sebagainya.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam ukuran, yakni jika ukuran suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Misalnya ukuran zakat wajib, ukuran kaffarat, fidyah dan sebagainya.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam tatacara, yakni jika tatacara suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dirubah dan tidak diganti, tidak boleh diacak atau dijungkirbalik. Misalnya tatacara wudhu, tatacara shalat, tatacara berdzikir setelah shalat dan sebagainya.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam waktu dan tempat, yakni jika waktu dan tempat suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak diganti dengan waktu dan tempat yang lain. Misalnya shalat, waktunya sudah dibatasi, tidak sah sebelum dan sesudahnya, tempatnya sudah ditentukan yaitu masjid, maka keliru kalau shalat di kuburan.

Menjadi Guru itu Nikmat lagi Mulia

Alhamdulillah,segala pujian hanya milik Allah Ta’ala yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya tanpa ada kealpaan. Dialah yang Maha Sempurna lagi Mampu melakukan Apa yang Dia kehendaki.
Manusia dalam kenyataan hidupnya menunjukan bahwa ia membutuhkan suatu proses belajar yang memungkinkan dirinya untuk menyatakan eksistensinya secara utuh dan seimbang. Manusia tidak dirancang oleh Allah SWT, untuk dapat hidup secara langsung tanpa proses belajar, tapi terlebih dahulu untuk memahami jati dirinya dan menjadi dirinya. Dalam proses belajar itu seseorang saling tergantung dengan orang lain. Proses belajar itu dimulai dengan orang terdekatnya. Proses belajar itulah yang kemudian menjadi basis pendidikan.
Aktivitas pendidikan terkait dengan perubahan yang secara moral bersifat lebih baik, ciri perubahan atau kemajuan secara fundamental adalah terjadinya perkembangan internal diri manusia yaitu keimanan dan ketaqwaan, bukan hanya perubahan eksternal yang cenderung bersifat material yang dapat menghancurkan keimanan dan ketaqwaan manusia.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, produk pendidikan sering hanya diukur dari perubahan eksternal yaitu kemajuan fisik dan material yang dapat meningkatkan pemuasan kebutuhan manusia. Masalahnya adalah bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan sering bersifat tidak terbatas, bersifat subyektif yang justru dapat menghancurkan harkat kemanusiaan yang paling dalam yaitu kehidupan rohaninya. Produk pendidikan berubah menghasilkan manusia yang cerdas dan terampil untuk melakukan pekerjaannya, tetapi tidak memiliki keimanan, akhlaq karimah apalagi rasa malu berboat dosa bahkan kepedulian dan perasaan terhadap sesama manusia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan menjadi instrumen kekuasaan dan kesombongan untuk memperdayai orang lain, berbohong, bahkan kecerdikannya digunakan untuk menipu dan menindas orang lain, produk pendidikan berubah menghasilkan manusia yang serakah dan egois. Wal ’iyadzubillah
Ketidakberhasilan tertanamnya nilai-nilai rohaniyah (keimanan dan ketaqwaan) terhadap peserta didik (murid) dewasa ini sangat terkait dengan dua faktor penting dalam proses pembelajaran di samping banyak faktor-faktor yang lain.
Kedua faktor tersebut adalah strategi pembelajaran serta orang yang menyampaikan pesan-pesan ilahiyah dalam hal ini adalah kompetensi guru sebagai sang murabbi. Dalam sistem pendidikan Islam seharusnya menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriyah dan batiniyah), di samping itu keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat ditunjang oleh kepribadian setiap penyampai pesan yakni sang guru.

Rabu, 17 Maret 2010

Agungnya Ibadah Haji ( 4 )

PERBEDAAN HAJI DAN UMRAH
Sebelum penulis sampaikan perbedaan antara haji dan umrah, penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu definisi haji dan umrah secara singkat.
a. Haji
Haji berarti menyengaja mengunjungi Makkah pada waktu tertentu ( bulan-bulan haji ) untuk melakukan serangkaian ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat.
Haji juga memiliki rukun haji yaitu ;
- Ihram dari miqat
- Wuquf di padang Arafah
- Thawaf
- Sa’i.
Jika salah satu rukun haji tersebut tidak dikerjakan atau diitnggalkan maka menyebabkan hajinya tidak sah menurut pendapat yang rajih.
Sedangkan amal ibadah yang wajib dikerjakan pada saat haji disebut wajib haji. Wajib haji ada 7, yaitu ;
- Melakukan ihram dari Miqat
- Wuquf di padang Arafah
- Mabit ( bermalam ) di Muzdalifah
- Bermalam di Mina
- Melempar jumrah Aqobah pada 10 Dzul Hijjah, melempar 3 jumrah pada hari-hari tasyriq yaitu jumrah ula, jumrah wustho, dan jumrah Aqabah.
- Mencukur atau memotong rambut pada 9 Dzulhijjah ( hari raya haji )
- Thawaf Wada’ ( Thawaf perpisahan ketika akan meninggallkan Makkah ).
Jika ketujuh wajib haji ini tidak dikerjakan, pelakunya wajib membayar dam ( denda ).
Dalam ihram haji dikenal istilah Tahallul, yaitu pembolehan atas hal-hal yang dilarang bagi seseorang yang melakukan ihram. Tahallul ini ada 2 macam Tahallul awal dan Tahallul tsani. Tahallul awal adalah pembolehan atas hal-hal yang dilarang bagi seseorang yang melakukan ihram kecualiberhubungan suami istri, bercumbu dan akad nikah. Sedangkan Tahallul Tsani adalah pembolehan atas hal-hal yang dilarang bagi seseorang yang melakukan ihram termasuk hubungan suami istri, bercumbu, dan akad nikah.
Orang yang ihram haji dinyatakan Tahallul Awal jika sudah mengerjakan 2 dari 3 hal berikut ini ;
- Melempar jumrah Aqabah
- Memotong / mencukur rambut
- Thawaf dan sa’i bagi yang belum melakukan sa’i.
Dan dinyatakan Tahallul Tsani jika ketiga hal tersebut diatas sudah dikerjakan semuanya.
b. Umrah
Umrah berarti mengunjungi Masjidil Haram pada waktu yang tidak ditetapkan, untuk melaksanakan rangkaian ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat.
Umrah juga memiliki rukun umrah, yaitu ;
- Ihram dari miqat
- Thawaf
- Sa’i
Jika tidak dikerjakan salah satunya maka umrahnya dikatakan tidak sah.
Dan orang yang umrah juga harus mengerjakan wajib umrah seperti ;
- Melakukan ihram dari miqat
- Mencukur atau memotong rambut kepala.
Kewajiban ini sama hukumnya dengan haji, jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan maka harus membayar dam (denda).
Adapun Tahallul Ihram Umrah adalah dengan menyelesaikan semua rangkaian ibadah umrah. Wallahu a’lam bish shawab.

Agungnya Ibadah Haji (3 )

JENIS-JENIS MANASIK HAJI
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrad

Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.


2. Tamattu’
Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.
3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “لبيك عمرةً وحجًا ” dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril –alaihissalaam- dan berkata:
صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:
سعيك طوافك لحجك وعمرتك
“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)
c. Berihram untuk haji kemudian memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:
o Boleh, dengan dalil hadits ‘Aisyah:
أهل رسول الله بالحج
Shallallahu’alaihi Wasallam “Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.
dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
صل في هذا الوادى المبارك و قُلْ عمرة فى حجة
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة
“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.
Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.
o Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali. Berkata Syaikhul Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama”
Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:
1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.
2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:
Hadits Anas, beliau berkata:
سمعت رسول الله أهل بها جميعًا: لبيك عمرة و حجًا، لبيك عمرة و حجًا (متفق عليه(
“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“ (Mutafaqun Alaih)
Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)
Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:
سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول الله لقولك (رواه البيهقي(
“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)
Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.
3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:
• Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad
• Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
• Amalan Khulafaur Rasyidin
Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah Tamattu lebih utama ( pendapat pertama ) dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:
من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة
“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)
b. Hadits Aisyah:
خرجنا مع رسول الله ولا أريد إلا أنه الحج، فلما قدما مكة تطوفنا بالبيت فأمر رسول الله ما لم يكن ساق الهديي أن يحل، قالت فحل من لم يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا
“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)
c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.
Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada Tamatu’ menujukkan bahwa Tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.
d. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة
“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim, Ahmad no. 6/175)
e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah:
فدخل علي و هو غضبان فقلت: من اغضبا يا رسول الله اخله الله النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون
“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)
Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya – والله أعلم -
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama. Beliau berkata: “ Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”

Agungnya Ibadah Haji ( 2 )

SYARAT DAN MIQAT HAJI
1. Syarat-syarat haji
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan ( berbadan sehat, perbekalan biaya hidup,ada suami atau mahram, dan kendaraan )
5. Merdeka

2. Miqat-miqat untuk haji
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu . Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:
1. Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hambali.
2. Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.
3. Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan yang rajih -wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُوْمَاتٍ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِى الْحَجِّ …… الأية
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)
dan firman Allah Ta’ala :
وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-Taubah 9:3)
Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (أشهر) dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر) jamak dari (شهر) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (شهر) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar’i maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.
Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.
Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
وَقَّتَ رَسُوْلُ اللهِ لِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ ذَا الْحُلَيْفَةَ وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ النَّجْدِ قَرْنٌ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ قَالَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَجَّ وَ الْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُوْنَهُنَّ مَهِلَّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَلِكَ أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّوْنَ مِنْهَا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: “’Mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)
Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali ( Beer Ali ) yaitu sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 5 2/3 mil kurang seratus hasta yang setara kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.
Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. Dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km ( sekarang dikenal dengan as sailul kabir ) demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya. Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tentang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu.
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabi SAW lah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتُ الْعِرْقِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:
فانظروا حذوها من طريقكم
“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih –wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuaian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.
Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul Hulaifah, kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa manusia itu tidak lepas dari 3 keadaan:
1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia berihram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram ( Makkah ) dan berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan :
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih miqat yang terdekat dengannya.
Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:

a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk Makah wajib berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupakan madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
إنه لا يدخل إلا من كان مُحْرِمًا
“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk Makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan Makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”
b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.
Mereka berdalil sebagai berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
لمن أراد الحج و العمرة
“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)

Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk Makkah.
Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)
Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.
2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:
A .Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
B. Tidak memiliki udzur syar’i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.
3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi’iyah
c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.

Agungnya Ibadah Haji ( 1 )

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku " ( QS. Adz Dzariyat:56)
kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.

DEFINISI HAJI, DALIL DAN HUKUMNYA
1. Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula . Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
2. Dalil Pensyari’atannya
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
A. Dalil dari Al-Qur’an ;
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَـالَمِيْنَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)
dan firman Allah Ta’ala ;
وَأَتِمُّوْا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أَحْصَرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوْا رُؤُوْسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّةً فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوْا اللهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)
B. Dalil dari As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu ;
خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَآاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim)
Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لآ إله إلاّ الله وأن محمدًا رّسول الله وإقام الصّلاة وإيتاء الزّكاة وحجّ البيت وصوم رمضان
“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
C. Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’
Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.