Kamis, 25 Maret 2010

Ruang Lingkup Pengajaran Fikih

Manusia diciptakan untuk tujuan ibadah, maka manusia harus tahu apa itu ibadah karena ia merupakan tujuan dari hidupnya, dengan mengetahuinya maka manusia bisa merealisasikannya, mana mungkin merealisasikan sesuatu tanpa mengetahuinya.
Dari segi bahasa ibadah berarti ketundukan dan kepasrahan, dikatakan thariq muabbad yang berarti jalan yang ditundukkan, yakni bisa dilalui dengan baik karena sebelumnya sudah ditangani sedemikian rupa sehingga ia nyaman bagi orang-orang yang melewatinya.
Dari segi istilah ibadah adalah ketundukan mutlak kepada Allah swt melalui lisan para rasulNya. Ada yang mendefinisikan, ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala apa yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun batin. Definisi ini milik Imam Ibnu Taimiyah dan definisi ini adalah yang terbaik dan terlengkap.
Dari definisi di atas kita mengetahui bahwa cakupan ibadah adalah luas, mencakup seluruh jiwa dan tubuh manusia. Ada ibadah qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), raja` (berharap), mahabbah (cinta) dan sebagainya. Ada ibadah fisik seperti shalat, jihad, haji dan sebagainya. Ada ibadah maaliyah seperti zakat, sedekah dan sebagainya. Dari sisi lain ibadah juga melingkupi segala sisi kehidupan manusia dan seluruh aktifitas hariannya. Tidak ada satu sisi hidup atau tidak ada satu aktifitas manusia kecuali ia tersangkut sisi ibadah. Prinsipnya, hidup adalah ibadah.

Prinsip dasar ibadah
Prinsipnya adalah tauqifiyah, artinya sebuah perbuatan atau perkataan hanya bisa digolongkan sebagai ibadah jika ia memiliki dasar dari al-Qur`an dan sunnah. Apa yang tidak memiliki dasar berarti bukan ibadah. Dalam perkara ibadah yang kita cari adalah dasar yang menetapkannya sebagai ibadah, atau dengan bahasa lain, dalil yang memerintahkannya. Ada, berarti ia dilakukan, tidak ada, berarti harus menahan diri, karena kita tidak lebih tahu dan tidak boleh merasa lebih tahu daripada Allah dan rasulNya.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa dasar perintah kami maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menetapkan bahwa setiap amal ibadah harus memiliki dasar izin dari peletak syariat, jika tidak maka ia tidak diterima. Yang menyatakan demikian bukan siapa-siapa melainkan Rasulullah saw. Hadits ini adalah pedang tajam yang memilah amal perbuatan, mana yang merupakan ibadah dan mana yang bukan, dari sini maka tidak sedikit manusia, khususnya ahli bid’ah, yang alergi dengan hadits ini, berbeda dengan muslim sunnni yang meniti jalan sunnah Rasulullah saw, dia meletakkan hadits ini di depan kedua matanya sebagai pijakan beribadah sehingga tidak terjatuh ke dalam bid’ah yang sesat.
Pedoman dalam beribadah
Sikap yang lurus dalam ibadah adalah tawazun atau tawassuth, sikap tengah dan seimbang, tidak ghuluw (berlebih-lebihan) dan tidak pula taqshir (meremehkan), tidak ekstrim keras dan tidak ekstrim longgar. Manhaj lurus ini ditetapkan oleh beberapa dalil.
Firman Allah,
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud: 112).
FirmanNya, “Tetaplah kamu pada jalan yang benar.” Ini adalah makna keteguhan atau istiqomah di atas jalan yang lurus dalam melaksanakan ibadah dengan mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak lebih, kurang berarti ekstrim longgar, lebih berarti ekstrim keras, keduanya sama-sama tercela. Dan firmanNya, “Dan jangan melampaui batas.” Merupakan larangan terhadap sikap berlebih-lebihan, memaksakan kehendak dan mengada-ada. Ini juga tercela.
Pada saat Nabi saw mendengar sebagian sahabat mempunyai kecenderungan kepada sikap berlebih-lebihan, ada yang berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus dan tidak berbuka.” Ada yang berkata, “Saya akan shalat terus menerus tanpa tidur.” Ada yang berkata, “Saya tidak akan menikah.” Maka beliau segera meluruskan sikap ini dengan mengembalikan mereka kepada sikap seimbang dan tengah yang terpuji, beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَأصُوْمُ وَأُفْرِطُوْ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النَّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Adapun saya maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur dan saya menikah. Barangsiapa tidak menyukai sunnahku maka dia bukan bagian dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kapan amal perbuatan dianggap mengikuti tuntunan peletak syariat?
Jika ia sesuai dengannya dalam enam perkara: dasar, bilangan, ukuran, tatacara, waktu dan tempat.
o Sesuai dengan tuntunan syariat dalam dasar ibadah, yakni ibadah tersebut mempunyai dasar dari peletak syariat, bukan ibadah yang diada-adakan.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam bilangan, yakni jika bilangan suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Mengurangi atau melebihi berarti menentang peletak syariat. Misalnya jumlah rakaat shalat, jumlah hari puasa wajib, jumlah thawaf di Ka’bah dan sebagainya.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam ukuran, yakni jika ukuran suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Misalnya ukuran zakat wajib, ukuran kaffarat, fidyah dan sebagainya.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam tatacara, yakni jika tatacara suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dirubah dan tidak diganti, tidak boleh diacak atau dijungkirbalik. Misalnya tatacara wudhu, tatacara shalat, tatacara berdzikir setelah shalat dan sebagainya.
o Sesuai dengan tuntutan syariat dalam waktu dan tempat, yakni jika waktu dan tempat suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak diganti dengan waktu dan tempat yang lain. Misalnya shalat, waktunya sudah dibatasi, tidak sah sebelum dan sesudahnya, tempatnya sudah ditentukan yaitu masjid, maka keliru kalau shalat di kuburan.

Tidak ada komentar: